Tajuk 15: Bunuh Diri

1 1 0
                                    

Woo-Soo datang di saat yang tepat. Dia berdiri di ambang pintu ketika pemimpin tim yang memintanya datang sedang berdiri mematung sambil memperhatikan gadis yang dikenalnya.

Aniya, aniya!” Suara Da-Reum yang serak kehilangan kendali. Kalau bukan karena reaksi polisi Wang yang memberi interupsi dengan kedua tangannya, Da-Reum tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Tangis Suhee di sambungan telepon pecah menimbulkan rasa nyeri karena rasa simpati. Bagaimana pun, Da-Reum pernah mengalami hal tersebut. Dua kali ingin mengakhiri penderitaan dunia, tetapi selalu gagal dan berubah menjadi pahit. Lebih pahit. Tangan Da-Reum berkeringat karena cerita yang menyayat hati.

Polisi Wang kembali memberi kode pada Da-Reum berupa tulisan yang dia pinta dari Tae-Seo. Tulisan tangan yang keriting itu meminta Da-Reum untuk menanyakan keberadaan Suhee. Dia ragu, apa lagi kalau sampai mengakibatkan hal di luar kendalinya.

Woo-Soo melambai tangan untuk mengalihkan perhatian Da-Reum, tetapi sayangnya gadis itu malah menunduk. Da-Reum lalu menggeleng pada Kyung-Ho yang terus menunjuk-nunjuk tulisan jeleknya. Saat matanya melihat Woo-Soo. Anggukan laki-laki itu menimbulkan ketakutan yang lain.

“Di mana?” tanya Da-Reum akhirnya. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi.

Kyung-Ho dan Woo-Soo mengerutkan kening dan menutup mata. Pertanyaan bodoh apa itu? Keduanya kini keluar ruangan untuk memanggil timnya dan melakukan pencarian dari nomor ponsel.

“Wang ... kau tahu? Aku benar-benar bahagia pernah menjadi temanmu, sungguh. Teman-teman yang lain lebih mengenalku dari pada si juara dua atau tiga karena aku berteman denganmu.”

“Oh, begitukah? Aku juga sangat bahagia Kim Suhee!” balas Da-Reum gugup. Dia menatap guru laki-laki yang berdiri di mimbar dengan sama-sama tegang.

“Suhee, di mana kamu sekarang?” tanya Da-Reum lagi.

“Apa polisi ada di sana untuk mencariku?” Suhee mengatakan kalimat yang Da-Reum tidak inginkan. Siasatnya salah. Gadis itu bergerak ke sana ke mari tidak karuan. Sesekali mengusap tengkuk, berpindah untuk menjambak rambut, lalu menggigit kuku telunjuknya. Dia menoleh ke arah pintu, Kyung-Ho belum ada. Apa yang harus dilakukannya? Apa jawaban yang ingin Suhee dengar?

“Yak, Kim Suhee. Ada apa denganmu?”

“Jujurlah!”

“Kau akan memberi tahu keberadaanmu?”

“Aku di sekolah!”

Mendengar suara langkah kaki, Da-Reum berbalik dan melihat Woo-Soo. Sekolah? Dia melihat ke sekeliling untuk menelisik satu per satu dari teman-temannya. Apa dirinya kembali dikerjai? Da-Reum menggeleng.

Eodi?” Da-Reum memastikan dengan intonasi yang pura-pura tidak percaya. “An-mideoyo!”

Kekeh kecil Suhee yang menjadi khas di telinga Da-Reum melancarkan niat yang tertunda dan langsung berlari ke luar lewat pintu belakang. Agar tidak tertahan dan bertemu dengan polisi, Da-Reum mengambil jalur yang berbeda.

“Percayalah!”

“Kalau kau di sekolah, kenapa tidak datang ke sini? Kelas kita.”

“Aku di skors!”

“Kamu di mana? Tolong, berbicaralah denganku sekali lagi. Mari kita bertemu,” bujuk Da-Reum sambil berjalan menaiki tangga untuk naik ke lantai atas.

"Kayaknya kamu udah tahu!" Suhee terpekik. Tangisnya kembali pecah dan kini tidak tertahan. Dia benar-benar ingin mengakhiri hidupnya yang amat berharga karena masalah video itu.

Ayolah, Suhee! Karenamu aku menderita lebih banyak dan penindasan orang-orang tanpa ampun yang tidak memiliki penolong. Tidak sepertimu saat ini. Da-Reum terus menaiki tangga untuk sampai di lantai empat. Di mana mereka sering menghabiskan siang bersama sambil menikmati pemandangan ke gunung yang berada di barat Yongin. Waktu berharga yang mereka miliki ternyata sangat banyak.

“Aku su—“

Sambungan telepon terputus. Suhee, batin Da-Reum terus-menerus menyebutkan nama itu. Dia kembali menghubungi nomor itu, tetapi telepon di nonaktifkan. Kelas lain yang sudah mulai pembelajaran sangat damai. Da-Reum menimbulkan suara langkah yang keras ketika melewati koridor kelas XI. Dari atas, Da-Reum dengan mudah menemukan keberadaan gadis itu. Taman? Ah, enggak ada. Di mana Suhee?

Langkah Da-Reum terhenti karena Woo-Soo berada di seberang. Gadis berlari sekuat tenaga sambil memberikan benda pipih persegi panjang miliknya untuk ditunjukkan. Woo-Soo melirik sekilas.

“Suhee harus kita temukan. Kita akan tahu siapa laki-laki itu!”

Da-Reum mengangguk dan mengikuti ke mana Woo-Soo pergi. Mereka naik kembali ke atas untuk memeriksa atap sekolah. Kemungkinan yang keduanya pikirkan. Atap sekolah yang begitu terbuka, tidak memerlukan akses izin keluar masuk. Tempat itu merupakan puncak tertinggi dan tempat paling menghasilkan dalam upaya bunuh diri.

Da-Reum tidak secepat Woo-Soo, bahkan kakinya berkali-kali tersandung. Keberadaan Suhee yang menjadi rahasia tidak ditemukan di mana pun di tempat terbuka itu. Da-Reum melihat dengan saksama dan menemukan jejak kaki yang kemungkinan milik orang lain.

“Itu bukan ukuran wanita,” simpul Woo-Soo pada Da-Reum.

Da-Reum melihat ke arah jalan raya yang sedang kosong. Lalu lintas dengan empat arah itu berjalan dengan baik, tetapi perlahan matanya mulai menangkap sosok yang dicarinya.

Belakang sekolah. Tempat yang seharusnya menjadi bagian pertama dalam pikiran Da-Reum, tempat yang mempertemukan mereka pertama kali, dan ruang yang memberi mereka kenyamanan.

“Ah–ah ... Ahjussi!” panggil Da-Reum terbata. Suaranya tertelan kembali, air mata mulai menetes. Dia hanya bisa menunjuk jalanan yang rambu lalu lintasnya berjalan normal.

“Suhee ....”

Woo-Soo buru-buru mengeluarkan radio untuk memberi tahu Kyung-Ho.

“Tim 1, Jalan raya. Di jalan.”

Lampu berubah hijau, tetapi Suhee malah berlari ke tengah jalan dan menabrakkan dirinya pada bus yang hendak melaju ke kanan. Da-Reum memegang tembok pembatas. Kedua kaki pendeknya gemetar hebat hingga tidak bisa menopang. Tangisan pecah membuat tubuhnya melemah.

Laki-laki yang menjamin keselamatan warganya mematung. Untuk ke sekian kalinya, dia tidak bisa mengubah nasib yang Tuhan kehendaki bagi umat yang tidak bisa apa-apa.

Petugas polisi yang berdatangan langsung menelepon bantuan medis untuk mengirimkan ambulans dan mengamankan TKP. Tubuh gadis berusia tujuh belas tahun itu tergelatak tidak berdaya dengan bersimbah darah. Jemari yang memegang ponsel putih kini mengubahnya menjadi merah gelap yang menakutkan. Banyak orang yang berteriak di sekitar jalan.

Kyung-Ho melihat ke atas dan menemukan rekannya. Raut wajah laki-laki itu memicu pertanyaan kembali setelah beberapa hari berlalu. Benarkah yang dia katakan? Lantas, sekarang apa? Kyung-Ho memerintahkan anak buahnya untuk bergerak cepat. Ambulans tiba dalam tujuh menit, warga yang berkerumun pun sudah setengahnya membubarkan diri.

Gadis yang kini berada di ambulans menggenggam sesuatu dengan sangat kuat. Teka-teki lain pun dimulai.

God's Gift: 100 DaysDonde viven las historias. Descúbrelo ahora