Tajuk 8: Pembalasan

3 1 0
                                    

Laki-laki yang tingginya hendak mencapai dua meter itu duduk di meja yang menghadap ke ranjang. Tangan kirinya meraih ujung lengan jaket yang kini dipeluk. Sejenak, Ahn-Jeong menelisik salur benang lalu menatap gadis yang tertunduk lesu dengan wajah pucat.

"Lebih baik," balasnya singkat.

Da-Reum mengangkat kepala, pasang matanya bersinggungan dengan mata Ahn-Jeong. Satu detik. Dua detik. Kalau saja laki-laki itu tidak membuang pandangannya ke lantai. Desah napas Da-Reum bersama senyum tipisnya ikut membuang muka. Tentu saja. Akan lebih baik jika anak itu tidak pernah bertemu dirinya dan keluarga. Terlebih, dalam keadaan yang menyedihkan.

"Kalau enggak ada lagi yang ditanyakan." Ahn-Jeong beranjak dari tempat duduknya kemudian melanjutkan, "Aku pergi. Ada hal lain yang harus aku kerjakan."

Da-Reum, gadis yang kini menarik sehelai rambut yang menghalangi mata mengangguk tanpa melihat temannya itu. Bahkan, hanya sekadar punggung tegapnya.

Dua menit berlalu, tetapi Hee-Sun yang sedang ke kantin belum juga muncul di klinik sekolah. Padahal, Da-Reum sudah selesai melengkapi pakaiannya. Mantel tebal krem dan syal cokelat sudah menempel di badan. Ransel hitam pun sudah melekat di punggung. Da-Reum mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Hee-Sun, tetapi notifikasi mengejutkan mengurungkan niatnya.

"Apa kakaknya Juee yang melakukan ini semua?" tebaknya dengan suara kecil dan parau.

Da-Reum bergegas keluar ruangan, langkah lebar nan cepatnya masih terhuyung. Beruntung, sepanjang dinding luar kelas tidak menempelkan mading atau peralatan yang mudah pecah ketika tertabrak. Kepala Da-Reum sakit, dadanya sesak karena berjalan terlalu cepat.

"Oh, Da-Reum-ah. Mianhae-yo, aku tadi ...."

"Huh? Da-Reum-ah!" teriak Hee-Sun menghentikan langkah Da-Reum yang sedikit terombang-ambing.

"Yak! Wang Da-Reum!" serunya lagi.

"Suhee ... Suhee eodiseo?" tanya Da-Reum sambil melirik Hee-Sun yang kedua tangannya penuh dengan susu pisang.

Hee-Sun hanya terdiam karena pertanyaan mendadak Da-Reum. Walaupun demikian, dia mencoba sekenanya menjawab, "Uh, sekolah libur sampai akhir Januari, kan? Kita di sini emang khusus kelas XII, tapi ada jadwal."

"Jadi?"

"Suhee udah pulang sejak tadi."

"Ini?" Da-Reum mengeluarkan ponsel di saku mantelnya, memperlihatkan tampilan video dari kamera pengawas jalan yang menghadap ke tempat mereka makan malam hari itu.

Hee-Sun menutup mulut dengan dengan telunjuk. Bola mata gadis itu tampaknya ingin meloncat keluar. Tangan kanannya mengusap layar ke atas untuk melihat caption dan komentar-komentar yang menyudutkan Suhee. Dia sadar akan kekhawatiran Da-Reum. Akan tetapi, masa lalu datang begitu saja ketika pandangan mereka saling bertemu.

Kenapa? Itu balasan yang pantas Suhee dapatkan dari menyebarkan berita palsu, berisi fitnah dan mencemarkan nama baik seseorang. Nama Da-Reum juga terpampang dengan jelas di laman yang Suhee unggah. Membuat Juee yang berubah marah semakin membenci.

Da-Reum kembali berjalan. Isi kepala yang penuh dengan pertanyaan juga kenyataan serupa benang kusut tidak bisa tenang. Dirinya masih belum bisa menyusun benang kusut. Baik.

"Hee-Sun ambil dulu tas, ya!" seru Hee-Sun lalu berlari meninggalkan Da-Reum. Tidak lama, Hee-Sun sudah mengikutinya dari belakang. Cemas kalau temannya itu mendadak pingsan seperti tadi.

Pertama, menyelamatkan Hee-Sun dalam dua Minggu. Da-Reum berbalik, membuat langkah keduanya berhenti. Dia tiba-tiba mengungkapkan sesuatu yang tidak pernah ditanyakan pada orang lain. "Ada acara apa malam natal nanti?"

"Hm?"

Tentu saja Hee-Sun terkejut karena pertanyaan itu tidak seharunya muncul dari mulut gadis itu. "Bukannya toko kue ibumu cukup sibuk di malam tahun baru?"

"Kamu tahu banyak!" Da-Reum kembali berbalik. Dia menyentuh dada lalu mengusap pelan dan teratur, memikirkan kejadian yang menyakitkan tadi. Da-Reum berhenti lagi karena kini dia sadar siapa gadis di belakangnya.

Hee-Sun menggaruk kepala karena menabrak punggung kurus Da-Reum.

"Terima kasih sudah mengunjungi toko ibuku sesering itu." Pun, terima kasih karena sudah membantu menjadi saksi dan mendukungku dengan merapikan mejaku yang kotor. Da-Reum memeluk Hee-Sun erat, begitu pun sebaliknya.

Terima kasih juga karena membelaku di depan Bu Choi di hari terakhir—

Da-Reum melerai pelukannya. Semua orang terhubung. Sejak hari itu, sejak Hee-Sun menemaninya semakin dekat. Semua kejadian nahas beruntun tidak kunjung berakhir.

Suhee menelepon Ji-Han. Mereka bertemu di Yeonghwa Park pukul sepuluh malam. Tanpa mengajak Juee, Ji-Hoon, apa lagi Hee-Sun. Yeonghwa Park memang terkenal ramai di Yongin. Para muda-mudi yang ingin merayakan natal bersama keluarga, pasangan, dan teman-teman, banyak menghabiskan malam indah di taman seluas satu hektar tersebut. Salju pun sudah mulai turun untuk menghias atap-atap rumah. Cerobong asap mengeluarkan kepulannya seperti berlomba-lomba.

Kedai pinggir jalan, Yui-Tteokbeokki menjadi tempat janjian kedua gadis itu. Suhee sampai terlebih dahulu. Dengan pakaian yang dominan berwarna ungu, berlainan dengan orang lain yang menyengaja menggenakan outfit merah. Dia memesan teokbeokki dengan level pedas tingkat lima, tidak lupa odeng.

Tangan kiri Suhee sibuk menahan rambut sebahu yang ikut turun kala menyuap. Sesekali, dia mengelap bibir mungilnya dengan tisu basah yang selalu dibawanya di tas kecil. Matanya juga tidak berhenti melirik ke sana-sini.

"Bukannya dia," ujar salah satu pembeli yang melihat Suhee.

Suhee balik memandang. Gadis itu lanjut menyantap tanpa memikirkan hal lain. Suhee bahkan tidak sadar seorang laki-laki memotretnya di ujung sana kalau saja cahaya tidak muncul dari kamera ponsel tersebut.

"Yak!" teriak Suhee sambil berdiri. "Pengambilan gambar orang tanpa seizinnya tidak diperbolehkan. Kau tahu?"

"Shit. Anak tidak tahu diri gayanya selangit!" umpat dua perempuan yang berada di belakangnya.

"Hm, emang tampang itu enggak menipu. Jangan-jangan yang suka om-om dia lagi!" timpal yang lain.

Suhee yang hendak marah mengurungkan niat ketika tangannya ditarik keluar oleh Ji-Han. Gadis itu menyeretnya keluar sampai kerumunan tidak lagi terlihat. Wajah merah pada Suhee karena marah, pun rontanya pada Ji-Han tidak digubris.

Tanpa basa-basi, kembaran Ji-Hoon itu mengeluarkan ponsel yang menampilkan Suhee dari sudut samping terlihat sangat jelas. Apa lagi, ketika gadis itu berbalik dan menampakkan wajahnya.

"Aku enggak tahu ada masalah apa di antara kalian berdua!" tegas Ji-Han, "aku hanya ingin tahu. Apa Ji-Hoon yang merencanakan kejadian ini dan mengancammu karena kejadian tahun lalu?"

Mata Suhee tidak berkedip. Tiap kata yang menghinanya begitu terbayang sampai-sampai tidak memedulikan pertanyaan Ji-Han. Gadis yang mengeluarkan lesung pipi ketika mengatupkan mulut menarik ponsel dari hadapannya dan mendorong bahu Suhee untuk menatapnya.

God's Gift: 100 DaysWhere stories live. Discover now