Tajuk 5: Semua Terhubung

9 4 0
                                    

Tiga pasang mata sontak tertuju pada Da-Reum. Raut muka gadis itu tampak gelisah dengan mata menatap tajam pada Woo-Soo. Saraf-saraf otaknya sedang menyambungkan kepingan memori yang hampir dia lupakan. Padahal, waktu sudah berjalan dua hari, tetapi baru kini dia mengingatnya.

"Oh, seper-tinya ... aku harus pulang," pamit Da-Reum memandang lurus ke depan seraya mengaitkan tali ransel pada bahunya, mengabaikan makanan dengan kuah merah yang masih berasap di hadapannya.

Laki-laki. Da-Reum mengingat dengan jelas saat dirinya terjatuh dari atap malam itu. Seseorang berada di kelasnya berdiri di dekat jendela, gestur tubuh tinggi yang amat dikenalnya. Walau sedetik, Da-Reum mengingat sangat jelas ekspresi terkejut itu.

Wang Da-Reum berjalan cepat meninggalkan kedai di jalan Yeonae-1-gil. Langkah lebarnya tidak beraturan bersama napas yang memburu. Aku harus menemuinya. Jaket tebal dengan syal yang dikenakannya bergerak mengikuti ritme kakinya. Tetes keringat menyembul dari pori-pori tubuh, air turun dari pelipis dan mengenai syalnya. Da-Reum melepaskan syal rajut merah jambu tersebut sambil berbelok menuju jalan besar. Yeonae-gu.

Jalanan mulai gelap karena hari sudah berganti. Akan tetapi, lampu-lampu yang sengaja dipasang oleh warga setempat untuk merayakan Natal membuat mereka terlihat cantik. Bahkan, gang sempit yang biasanya tidak terkena cahaya bulan, tampak terang.

Da-Reum memperlambat langkah. Air mata turun begitu saja karena ingatan masa lalu melintas begitu saja. Dia tanpa sadar mengambil jalan yang sama, tetapi merasakan hal yang berbeda. Sangat. Malam itu, seterang-terangnya cahaya yang masuk, tetap membawa sendu.

Tangan Da-Reum terangkat untuk mengusap pipinya, tetapi tangannya dicekal.

"Da-Reum?"

Sapaan itu tidak asing. Da-Reum menunduk untuk menghindari tatapan wajah teman yang mencekalnya. Namun, usaha gadis itu sia-sia karena temannya ikut menunduk.

"Ada apa?" tanya Ahn-Jeong.

Da-Reum mengembuskan napas dari mulutnya sampai mengeluarkan asap, lalu membalas, "Oh ... Ahn-Jeong-ie!"

"Ck, ada masalah sama Wang-Jibsa?" tanya Ahn-Jeong, "Ahjumma?"

Gadis yang ditanyai hanya tersenyum kaku. Tidak ada yang lebih baik, mengetahui laki-laki dihadapannya masih memedulikannya.

"Molla-yo, Eomma!" balas Da-Reum, "Suhee, Juee, keurigu na-rang, memang sedang tidak baik-baik saja. Kendae ... nanti juga mereka balik dan mau datang lagi ke sini."

"Tumben kamu enggak tenang gitu kalau cuma marahan biasa?" selidik ibunya.

Ayah Wang ikut memperhatikan gelagat putri mereka yang tidak seperti biasanya. Lagi-lagi Da-Reum menunduk karena kejadian di dalam mimpinya berulang. Wah, Tuhan memang yang terbaik untuk menguji hamba-Nya, batin Da-Reum terus-menerus menyatakan itu pada dirinya.

Da-Reum terjatuh dari atap gedung yang tingginya kurang lebih lima belas meter. Menemui kejanggalan yang lain dari sahabatnya, dan seorang teman. Pun, ternyata beberapa dari mereka terhubung dan dipertemukan lebih cepat. Wae-yo?

"Ada apa?" tanya ayah Da-Reum menyentuh pundak putrinya. "Kalau ada apa-apa bisa bilang sama ayah, oh?"

Sang putri terkejut karena sentuhan mendadak ayahnya. Keduanya saling tatap.

"Nee ...," balas Da-Reum malas, "aku berangkat sekolah sekarang."

Hal yang patut disyukuri Da-Reum: keluarga harmonis yang selalu mendukungnya.

Ayah, ibu, dan adiknya selalu melengkapi kekurangan yang dimiliki Da-Reum. Walaupun keluarga mereka hidup sederhana dan serba berkecukupan, hanya memiliki rumah dan toko kue, keluarga mereka tetap rukun. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, tidak ada utang yang tidak bisa dibayar. Kemampuan Da-Reum dan sang adik pun terbilang cukup mumpuni tanpa bimbingan les privat karena keuangan mereka.

Wang Da-Reum berjalan santai di trotoar bersama dengan siswa-siswi yang hendak pergi ke sekolah. Sama seperti dirinya yang memakai jaket tebal dengan syal melingkar di leher, para remaja lain pun melakukan hal yang sama. Pemikiran tentang dirinya terlepas dari rundungan teman-teman sekelas, membikin Da-Reum melangkah dengan ringan menuju Yeonghwa High School.

Namun, perasaan aneh membelenggu sejak kemarin. Da-Reum sempat bingung dan sangat waspada akan hal-hal yang membuatnya sensitif. Perkara tatapan orang padanya pun, bisa membuatnya gelisah.

Dua gadis yang memakai syal pink tampak mengobrol sambil menatap ke arah Da-Reum dengan ekspresi jijik. Ayolah ... aku tidak melakukan hal yang memalukan, menjauhi Suhee dan Juee, tetapi kenapa? Kenapa orang-orang menatapnya seperti itu? Ada yang salah dengan pakaiannya?

Da-Reum melihat Suhee yang menarik Hee-Sun dengan kasar. Jarak ke sekolah hanya tinggal beberapa langkah, tetapi keduanya memilih berbelok ke arah yang berseberangan.

Sahabatnya itu terlihat marah pada Hee-Sun, umpatan yang keluar tidak begitu jelas. Da-Reum yang ingin mencuri dengar terlambat karena Suhee telah pergi begitu saja. Gadis yang rambut panjang diikat setengah, memakai mantel berbulu merah muda menghampiri Hee-Sun membuat Da-Reum lebih terperangah.

"Ahn Ji-Han?" ucap Da-Reum lirih. Da-Reum melangkah sambil berjinjit agar tidak menimbulkan suara. Dia terus mendekat agar bisa mendengar percakapan kedua gadis itu.

"Suhee nyebarin video Da-Reum yang makan bareng sama kakaknya Juee!" jelas Hee-Sun merasa bersalah, "Gimana cara ngejelasinnya, Ji-Han? Eottoke?"

"Aish, masa Suhee tega ngelakuin itu? Mereka sahabat!"

Hee-Sun menatap lekat pada gadis itu lalu menanggapi, "Kembaranmu. Tanya sama Ji-Hoon kenapa Suhee melakukan hal yang memalukan bagi Da-Reum!"

Suhee? Ahn Ji-Hoon? Da-Reum mengulang dua nama itu seraya menutup mulut. Jelas di sana ekspresi terkejut Ji-Han. Pendengaran tidak lagi berfungsi dengan baik ketika Ji-Han menyuarakan kalimat per kalimat dari bibirnya. Fokusnya kini pada video yang tersebar di sosial media dan pelakunya Suhee.

Suhee, bukan Juee. Astaga! Da-Reum tidak pernah menyangka bahwa penyebaran desas-desus tentang dirinya adalah Suhee. Da-Reum melangkahkan kaki untuk mendekati Hee-Sun agar memperoleh informasi lebih banyak, tetapi tangannya dicekal dengan sangat kuat. Tubuh gadis itu ditarik kuat ke gang di samping kiri untuk menghindar tatapan orang lain.

"Ah-Ahjuss ...."

"Mianhae ... seharusnya Ahjussi udah sadar sejak kemarin," terang Woo-Soo.

Gadis yang mendongak untuk bisa melihat wajah Woo-Soo tengah bingung. Woo-Soo yang melirik ke kanan-kiri gang berdiri sangat dekat dengan teman adiknya tersebut. Menebak pemikiran Da-Reum, Woo-Soo segera menjauh untuk memberi jarak.

"Temanmu ... ani, keponakan Hyeong, dia Hee-Sun?" Pertanyaan Woo-Soo pun tidak mudah dipahami Da-Reum.

"Ulangi pertanyaan dengan frase yang lebih mudah dipahami, Ahjussi!" pinta Da-Reum melirik ke samping.

"Hee-Sun ... gadis itu yang menghilang sehari setelah masuk sekolah. Tanggal 22 Januari. Iya, kan?

"Benar?" Woo-Soo menegaskan lagi pertanyaannya.

Pertanyaan itu membuat Da-Reum terkejut dan membekap mulutnya. Hee-Sun?

__________________________________________

Catatan kaki:

Jibsa: Pembantu/Pengurus rumah
Ahjumma: Bibi
Molla-yo, Eomma: Tidak tahu, Bu
Keurigu na-rang, dan/juga aku.
Kendae: Tetapi
Wae-yo: Kenapa
Ahjussi: Paman
Eottoke: Bagaimana
Mianhae: Maaf
Nee: Ya

God's Gift: 100 DaysWhere stories live. Discover now