Tajuk 3: Benar-Benar Kembali

9 2 0
                                    

Da-Reum merebahkan diri di atas tempat tidur. Seluruh tubuhnya kelelahan. Remaja seusianya mengalami hal aneh yang bisa dibilang menguntungkan. Memikirkan kematian yang akan menimpanya tadi lebih menakutkan dari pada fakta bahwa dirinya kembali ke masa lalu.

"Enggak mungkin, kan?" tanya Da-Reum pada diri sendiri. Dia bangkit untuk duduk di tepi ranjang dan melirik kalender yang menghadap ke arahnya dari meja belajar.

"Apa semua yang terjadi hanya mimpi?" tanyanya lagi, "kalau ia, kenapa semua terasa nyata? Shh-"

Da-Reum menyentuh tengkuk yang mendadak terasa panas. Hari ini terlalu melelahkan, dia memijat bagian belakang leher tersebut dengan tangan kanan, kemudian menengadah. Da-Reum mengabaikan rasa sakitnya dan beranjak meraih buku harian yang ada di meja belajar. Akan tetapi, dia baru sadar kalau kamarnya berbeda dari yang ditinggalkan.

Kertas dinding yang seharusnya abu-abu polos, berubah menjadi corak taburan bunga dengan dasar pink pastel. Rak buku yang diganti ayahnya dua hari lalu, buku harian yang tergelatak di bawah meja, dan foto persahabatan mereka terpasang di dinding.

Sekali lagi, matanya melirik kalender. Tanggal 21. Refleks tangan kiri Da-Reum menutupnya.

Dejavu.

Da-Reum ingat ketika Juee dan Suhee meninggalkannya malam itu. Dia merusak gelang persahabatan lantas menutup kalender seperti tadi. Jika hari itu karena kemarahan, hari ini dia melakukannya karena frustrasi. Da-Reum menunduk, mengambil buka buku catatannya lantas mulutnya menganga.

"Ha!" Da-Reum membekap mulut. Pupil mata gadis itu bergetar bersamaan dengan napas yang terasa sesak.

"Eng-enggak! Eng-enggak mungkin," ungkapnya panik. Dia terus membuka tiap lembar dari buku catatan harian yang membuatnya tidak percaya. Setiap kejadian pahit yang dialaminya, mulai dari tempat dan waktu kejadian, dari perundungan sampai hari kematian Juee. Tertulis jelas.

"Ini semua bukan mimpi!" Da-Reum melihat catatan terakhir dari buku bersampul cokelat dengan gambar-gambar kopi. Bukti Liontin. Rasa sakit di tengkuk seakan-akan bukti fisik.

Da-Reum hanya bisa memandang kedua sahabatnya dari belakang, tempat lokernya berada. Setelah pemikiran panjang semalam dia memutuskan untuk menemui Juee lalu Suhee. Orang-orang terdekat pun akan menganggap dirinya gila jika tiba-tiba membicarakan masa depan.

Setelah mengambil buku catatan di loker, Da-Reum bergegas keluar kelas untuk menenangkan diri. Memastikan emosinya tetap stabil dengan menggerakkan kuku ibu jari dan telunjuk. Berbalik hadap dan maju selangkah demi selangkah.

"Yak! Seo Hee-Sun!" seru Suhee melipat tangan di dada. Juee yang tidak bersemangat langsung duduk di bangku belakang dan menelungkup wajah.

Hee-Sun melirik Suhee tepat di wajah lalu menunduk kembali. Akan tetapi, gadis berusia tujuh belas tahun dengan riasan cukup tebal melepaskan lipatan tangannya. Badan Suhee condong ke depan lantas berbisik pada Hee-Sun. Senyum menang di wajah Suhee, getir kesal di mimik Hee-Sun terlalu kentara. Kedua gadis itu bangkit lalu berjalan ke pintu belakang.

Kepala Da-Reum terpental karena menubruk sesuatu, lebih tepatnya seseorang, ketika ingin mengikuti Suhee. Mata terpejam karena rasa sakit juga malu. Tangan yang menggenggam erat buku catatan menyentuh kening spontan. Dia menahannya agar tidak bersuara. Meski begitu, Suhee dan Hee-Sun tetap melihatnya.

"Mian-" ucap Da-Reum menggantung. Laki-laki yang berada di depannya telah berlalu tanpa menerima permintaan maafnya.

Ahn-Jeong ..., kata hati Da-Reum sembari menatap punggung yang memasuki kelas. Da-Reum berpaling dan menemukan Suhee yang tampak marah. Suasana hati berubah buruk karena kejadian barusan sehingga Da-Reum buru-buru pergi untuk ke perpustakaan.

Yang Ahn-Jeong. Nama itu terucap kembali. Di perpustakaan yang luasnya melebihi empat ruang kelas bila digabung, tidak menjadikan oksigen mengalir dengan baik. Buktinya, pernapasan Da-Reum menjadi terganggu sekaligus terhambat. Kalau bukan karena bunyi bel masuk, dia yakin akan berada di ruangan itu sampai oksigen benar-benar habis.

Suasana kelas tampak seperti biasa. Enggak. Hari ini tampak lebih baik dari yang dialami Da-Reum dulu. Hari ini tepat dia dihukum karena pencurian kertas ujian. Hari ini merupakan hari terburuk bagi Da-Reum dan keluarganya karena harus masuk komite kedisiplinan dan membayar denda dengan jumlah besar jika ingin bertahan beberapa bulan lagi. Tahun ini adalah tahun ajaran akhir. Da-Reum menunduk karena kepercayaan dirinya telah menurun. Dia takut takdir akan menjadi lebih keji.

"Wang Da-Reum!"

Choi Sun-Bin, wali kelas Da-Reum sudah menyebutkan namanya sedari tadi. Wanita berusia pertengahan empat puluhan itu memperhatikan siswi terbaik di kelasnya dengan berjalan mendekat. Gadis dengan semangat tinggi yang kemarin dipujinya, terasa sangat berbeda. Kegiatan melamun yang dilakukan sangat mengganggu Bu Choi.

"Da-Reum!" panggil Bu Choi pelan. Semua siswa di kelas serentak memandang temannya yang tetap tidak bersuara.

"Yak!"

"Wang!"

Teriak dua gadis dari belakang Bu Choi yang sangat khas. Da-Reum terkejut karena panggilan mendadak yang tidak lagi familier di telinganya. Dia menoleh ke samping dan lebih terkejut dengan kehadiran Bu Choi.

"Kenapa kamu ngelamun gitu?" tanya Bu Choi tidak bertele-tele. Wanita itu mengabaikan dua gadis lain yang tadi membantunya.

Da-Reum berdiri perlahan, tatapan tajam diberikan kepada gurunya. Sabar, Da-Reum. Dia mengangguk sambil tersenyum tipis sebagai jawaban lantas kembali duduk.

"Baru kali ini jawabanmu lemes gitu." Bu Choi melangkah lebih dekat untuk memberi lebih banyak perhatian.

Gadis yang menggerai rambut itu menunduk dan mengembuskan napas panjang.

"Da-Reum-ah!" Bu Choi melanjutkan, "Kamu sakit?"

"Enggak. Gwaenchanha-yo, Seonsaeng-nim!" balas Da-Reum lemah lembut. Bu Choi mengangguk.

Wanita itu mengenakan blus polos putih dengan pita besar di bahu, berbalut rok span hitam selutut, tampak anggun dan elegan. Tutur kata Bu Choi sangat santun diiringi ketegasan dan wibawa. Akan tetapi, Da-Reum sudah muak akan balutan luar yang rendah hati. Dia bisa melihat bagaimana wajah kedua wali kelasnya itu.

Da-Reum terpejam. Indra peraba bergerak cepat mengusap pipi yang terasa perih. Darah segar timbul di sudut kiri bibir tipis. Da-Reum cepat membuka mata setelah menggigit bibir bawahnya lama. Gadis itu duduk di baris kedua, kolom kedua. Tempat belajar paling nyaman karena segaris menghadap ke papan tulis. Tepat di sebelahnya, Hee-Sun memandang dengan ekspresi ragu. Da-Reum mengangguk lalu terpaku pada liontin yang melekat sempurna di leher temannya itu.

Hee-Sun dan Suhee. Da-Reum memikirkan beberapa kemungkinan yang berseliweran di benaknya. Dia pun menelisik seluruh kelas dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Juee? Siapa sebenarnya yang membunuh Juee? Apa motif yang paling memungkinkan untuk seseorang menjadi pembunuh?

Catatan kaki:
Gwaenchanha-yo, Seonsaeng-nim: Enggak apa-apa, Guru.

God's Gift: 100 DaysWhere stories live. Discover now