Tajuk 20: Pengungkapan

0 0 0
                                    

[Aku punya pertanyaan. Apa hubunganmu dengan Ahn-Jeong?] Ahn Ji-Han

[Aku menemui Suhee lima hari yang lalu. Saat dia diduga menghilang. Aku hanya ingin tahu tentang adikku. Apakah dia memberi tahu sesuatu tentang apa pun padamu?] Ahn Ji-Han

Da-Reum terkejut dengan pertanyaan tersebut. Dia juga mendapatkan pesan teks dari Woo-Soo yang teleponnya dia tolak dua kali dan tidak terjawab sebanyak delapan kali. Kenapa? Kenapa Ji-Han bertanya tentang hubungannya dengan Ahn-Jeong ketika semua murid mengetahui kisah mereka. Meskipun tidak dekat, semua orang tahu kalau Da-Reum, Ahn-Jeong, dan Ji-Hoon merupakan tiga terbaik dari sekolah. Mereka menjadi maskot Yeonghwa School untuk olimpiade tahunan.

Ahn-Jeong mengikuti tatapan Da-Reum padanya. Saling memandang untuk waktu yang lama. Laki-laki itu tidak berkedip dan membalas tatapan dalam yang diberikan temannya. Tangan kanan Ahn-Jeong naik ke depan untuk melambaikannya di wajah cantik, kini pucat, Da-Reum.

"Kau kenapa?" tanyanya penuh perhatian, "ada yang mengganggumu? Kau mau ke mana?"

Da-Reum lalu menggeleng lemah. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Lima hari sebelum Suhee bunuh diri? Hari ketiga, ketika dia dan Ahn-Jeong mencari Suhee ke sekolah? Ahn-Jeong benar-benar melihat Suhee.

[Apakah kita bisa bertemu?]

Da-Reum mengirimkan balasan ketika mereka memasuki taksi yang dihentikan Ahn-Jeong. Keduanya duduk di belakang sambil menahan kata-kata yang ingin dikeluarkan. Da-Reum fokus memberitahu Pak Polisi tentang Ahn-Jeong dan Ji-Hoon untuk berjaga-jaga.

[Ji-Hoon dan Ahn-Jeong sepertinya dekat, Ahjussi. Entahlah. Aku tidak memahami semua ini.]

Ahn-Jeong menyandarkan diri ke punggung kursi setelah menatap Da-Reum tanpa ekspresi, lalu terlelap. Tidak tidur, dia hanya memejamkan mata untuk bisa mempelajari bahasa tubuh gadis di sampingnya. Apakah gadis itu sudah mengetahuinya dan mengerti? Apa begitu polos seperti dahulu yang dapat melihat dan mendengar, tetapi pura-pura buta dan tuli?

Gerakan halus Da-Reum membelakangi Ahn-Jeong dan getar ponsel yang menerima balasan. Da-Reum cepat memainkan jempolnya pada huruf-huruf Hangul yang bertebaran di setengah layar ponselnya. Sesekali dia menoleh ke belakang memastikan temannya itu masih terlelap. Lelah karena telah menyelesaikan masalah dan menjaga Da-Reum sejak sore hingga kini. Jauh di lubuk hatinya, dia tidak benar-benar mengenal siapa teman yang duduk di sampingnya. Akan tetapi, dia tidak bisa mengabaikan perasaan suka yang sudah terkurung begitu lama. Dia tidak akan bisa membenci laki-laki itu walau terlibat. Apa yang membuatmu berpikir dia terlibat dengan Juee, Da-Reum?

Da-Reum tidak menerima balasan dari Ji-Han. Tidak sepatah kata pun setelah dirinya membalas hubungannya dengan Ahn-Jeong dan kesanggupan dirinya untuk bertemu. Mungkin, Ji-Han membutuhkan berbagai cara dan waktu untuk memikirkannya.

[Tidak perlu datang ke RS. Kau akan dimarahi habis-habisan di sini. Pulanglah dan istirahat.]

"Pak, ke alamat rumah saya. Jalan ...."

Da-Reum langsung membelokkan rute taksinya ke arah rumah. Dia perlu waktu untuk memikirkan semuanya juga. Apakah benar orang-orang begitu terhubung untuk menyakitinya? Apa alasan Tuhan melakukan ini? Da-Reum menatap Ahn-Jeong yang wajah lesunya mengarah padanya. Dirinya semakin tertarik untuk merapikan poni laki-laki itu.

Kau benar-benar gadis yang cerdas, Da-Reum. Ahn-Jeong semakin terlelap dalam kepura-puraannya. Dia ingin meraih tangan mungil itu dan menatap dalam gadis itu. Seharusnya kau melakukan itu enam tahun lalu!

Rintihan seorang anak seolah-olah terdengar menyenangkan. Laki-laki tua yang sudah memiliki uban di beberapa bagian rambutnya tersenyum sambil merapatkan gigi. Ayunan stik bisbol yang dibuat khusus dengan tongkat yang lebih panjang dan bandul yang lebih tipis. Di ujung lempengan bandul dilapisi karet yang teksturnya kasar dan keras. Tongkat itu diayunkan sampai mengenai punggung sang anak. Turun ke bokong lalu ke kaki. Ayunan itu tidak sekali dua kali. Pada kenyataannya, tubuh manusia kecil yang seharusnya rapuh itu bertahan terlalu kuat.

"Kau sadar sekarang apa kesalahanmu?" tanya laki-laki tua itu menggema. Ruang tempatnya berdiri hanya seluas empat kali empat meter persegi, tidak banyak barang, bisa dibilang kosong, hanya ada beberapa tongkat, dan senjata. Lantainya terbuat dari bahan marmer hitam yang memiliki garis tidak beraturan putih. Ada retakan di salah satu sudut ruangan tersebut.

"A!" Anak itu mengaduh. Pukulan di bokong teramat sangat menyakitkan. Wajah anak itu pucat. Di usianya yang menginjak usia sebelas tahun, hal itu tidak hanya memukul salah satu bagian tubuhnya. Akan tetapi, memukul bagian terdalamnya.

"Kau enggan untuk menjawab?" tanya laki-laki itu lagi.

"A ... a-ampun, Appa."

"Bukan itu yang ingin aku dengar!" Sekali lagi sambil memukul punggung anak itu. Terayun kuat sampai benda itu menimbulkan bunyi ketika bersentuhan.

Apa yang akan terjadi jika jawaban yang diberikan anak itu salah? Tubuh yang kesakitan itu dibangkitkan perlahan setelah sebuah suara menghentikan. Meskipun telat, tetapi dia selalu beruntung karena tidak sampai mati. Tidak. Bukankah mati akan lebih baik dari pada dipukul setiap hari?

"Ada tamu untukmu. Sekarang berhentilah!" ucap wanita yang tampaknya seusia. Walau kecantikan itu tidak surut.

Laki-laki itu membenarkan kerah bajunya dan mengusap keringat. Membenarkan rambut yang acak-acakan. Sebelum pergi laki-laki itu berpesan. "Jaga anakmu dan ajari dia dengan benar," katanya sambil menunjuk penuh menantang. Laki-laki itu pergi meninggalkan ruangan, meninggalkan segala macam kepahitan dan keterpurukan. Anak laki-laki itu menghela lega.

Tidak. Anak itu tidak seharusnya lega karena berada di pelukan yang lagi-lagi tidak tepat.

"Seperti kau pernah mengajari anakmu dengan benar!"

Anak itu menatap wanita di sampingnya dengan pelototan tajam. Mata yang bulat dengan dipenuhi kabut bening menutupi, bagian sisi-sisinya berwarna merah. Hatinya benar-benar merasa teriris tatkala mata sipit itu maju memandangnya lekat.

"Dasar kau! Seharusnya aku melahirkan anak wanita yang membanggakan dengan segala kecerdasannya. Kau! Kau anak yang tidak tahu diuntung!"

Semua rasa sakit itu dipertajam dengan kehadiran keluarga yang akan merawatnya. Penuh kasih sayang dan cinta. Namun, tetap tidak bisa melindungi.

Ahn-Jeong bersandar pada kursi yang digunakannya untuk belajar, mengeratkan kepalan tangannya dan mengeluarkan napas kasar. Bahkan, Tuhan sangat suka berpaling darinya dan mengolok-oloknya.

God's Gift: 100 DaysWhere stories live. Discover now