Tajuk 7: Dejavu

3 1 0
                                    

[Berita sebenarnya]

[Alih-alih memamerkan keamatiran diri. Capailah peringkat dengan tidak menjatuhkan teman yang berprestasi.]

Tuan Hong menatap laki-laki berusia tiga puluhan yang duduk sambil melipat tangan di dada. Memasang wajah datar yang menyiratkan kemarahan. Rasa tidak sabar untuk membalas selintingan orang tentang hidup mereka.

Anehnya, si pembuat video seusia dengan adik Woo-Soo. Kenapa dia tega melakukannya? Tuan Hong tidak ingin bertanya.

“Satu lagi,” pinta Woo-Soo, “tolong cari fakta lengkap tentang latar belakang Wang Da-Reum bahkan sampai hal paling kecil.”

“Wang Da-Reum?” ulang Tuan Hong.

“Dia?” Tuan Hong menunjukkan selembar foto yang menampilkan sosok gadis cantik yang sedang fokus memandang ke depan. Tidak menyadari dirinya sedang dipotret seseorang.

“SIAPA?” teriak Woo-Soo.

“Kyung-Ho ....” Tuan Hong diam sejenak. Bingung untuk mengatakan hal lain yang tampak aneh.

“Waeyo?” Bae Woo-Soo penasaran.

“Satu orang klien. Tidak ada hubungannya denganmu!”

Nugu, batin Woo-Soo. Apa semua yang terjadi ada hubungannya? Woo-Soo menggaruk kepala yang tidak gatal lalu menatap foto itu sekali lagi.

 Hee-Sun tampak bingung karena pertanyaan Da-Reum yang tiba-tiba.

“De ... javu ...,” terang Hee-Sun sambil meminum susu pisang yang dibelikan Da-Reum. Gadis itu tampak bingung lalu tersenyum kecut.

“Dejavu?” tanya Da-Reum, “bagian apa yang dejavu?”

“Pertanyaanmu sama persis kaya Ji-Han.” Hee-Sun menyeruput minumannya sambil memandang pepohonan rindang di seberang. Hari sudah malam, mereka memutuskan mencari udara segar sebelum bertarung dengan soal-soal untuk ujian besok.

“Ji-Han?” Da-Reum berpikir kuat karena nama ini tampak tidak asing. Seolah-olah berada di dekatnya akhir-akhir ini.

Hee-Sun membenamkan diri dengan menutup mata, membiarkan hanya kelopaknya yang merasakan embusan angin. Aroma dari susu pisang kesukaannya pun memberikan kedamaian.

“Beruntung aku eng ...,” gumam Hee-Sun yang tidak menuntaskan kalimatnya. Dia berpura-pura melantur dan mengabaikan pertanyaan Da-Reum.

“Yak!” Da-Reum mendesah. Dia kesal karena tidak ditimpali dengan baik.

“Ahn Ji—“

“Ah, molla. Mau tahu tentang kalungnya apa tentang yang nanya?” potong Hee-Sun cepat.

“Du—“

“Just one, ok!” Lagi-lagi Hee-Sun lebih cepat. Dia pula menegaskan, “Kalung atau Ji-Han? Enggak ada dua-duanya!”

“Kalung!”

“Kamu ketemu sama orangnya kemarin, Da-Reum!” seru Hee-Sun semangat.

Polisi Wang?

Da-Reum kehilangan fokus. Indra pendengarannya sedang tidak baik sampai-sampai mengabaikan cerita panjang lebar dari Hee-Sun yang ceria. Sesuatu dalam perut seakan-akan bergejolak dan minta ditumpahkan. Naik ke dada hingga rasa sakit yang diterima.

“Da-Reum! Da-Reum!” jerit Hee-Sun kala teman sekelasnya kehilangan kesadaran.

Tubuh gadis itu terjatuh di bawah kaki Hee-Sun sambil meremas dada. Kedua mata memerah. Da-Reum seperti kehabisan napas bahkan ketika diam. Saat itu dia menyadari bahwa pepatah tidak pernah salah. Ada alasan pada setiap kejadian.

Da-Reum mengeluarkan banyak keringat ketika sadar. Bau rumah sakit pun keluh kesah para pasien di sisi kiri dan kanan, mengganggu ketenangannya. Beruntung Hee-Sun setia menemani sampai Da-Reum diperbolehkan pulang tanpa izin wali karena sudah membayar biaya administrasi. Kedua gadis itu hanya saling melempar senyum lemah ketika dokter datang berkunjung.

Gumawo. Da-Reum mengungkapkan kata itu lewat gerak bibir. Suara keras kebanggaannya tidak mau keluar seberapa besar dia mencoba. Kejutan ringan yang hampir melayangkan nyawa. Sekai lagi, Da-Reum bersyukur ada Hee-Sun yang dapat membantu. Dia tidak percaya diri bahwa dua sahabatnya bersedia menjenguk.

“Aku ke kantin dulu,” pamit Hee-Sun dengan suara pelan. Tubuh mungil itu menarik diri dari hadapan Da-Reum.

Seorang perawat membuka jarum infus dengan hati-hati. Rasa lelah hinggap di pundak. Da-Reum meraba kepalanya yang masih berdenyut, lalu turun ke tengkuk yang semakin sakit.

“Udah baikan?”

Da-Reum menoleh. Gadis berwajah pucat itu terperangah karena laki-laki yang tidak diharapkan berada sangat dekat. Da-Reum membenarkan rambut yang sedikit acak-acakan, menggeser posisi duduknya, dan terpenting untuk mengelap peluh yang memenuhi kening.

“Baik, Ahn!” jawab Da-Reum. Pandang mata bergerilya ke arah lain. Temperatur dingin berubah hangat.

“Syukur kalau gitu!” Ahn-Jeong menimpali. Seragam sekolah yang masih melekat dirapikan. Jas biru dongker disampir pada lengan kiri, tangan kanan membenarkan rambut lebat yang dibelah ke kanan.

“Ahn ... ehm, Hee-Sun enggak bilang ... kalau Ahn-Jeong,” ujar Da-Reum terbata-bata karena sulit untuk menyesuaikan diri.

“Hm, tadinya aku mau langsung pulang. Ketinggalan ini!” Ahn-Jeong memperlihatkan pena hitam bermotif di ujung tutupnya. Terukir nama sekolah.

“Aku pamit sekarang!” imbuh Ahn-Jeong lalu berbalik.

“Ahn ....” Da-Reum menutup rapat mulutnya. Dia ragu untuk mengungkapkan rasa yang sudah terpendam sejak lama.

Ahn-Jeong berbalik sambil berkacak pinggang. Remaja laki-laki paling tinggi di kelas itu menoleh lantas tersenyum kecut menunggu kalimat lengkap temannya sejak SD dulu.

“Kabarmu baik?” tanya Da-Reum. Ahn-Jeong menurunkan tangan lalu mengangguk.

God's Gift: 100 DaysWhere stories live. Discover now