Tajuk 21: Kurang 28 Hari

1 0 0
                                    

Ahn-Jeong akan berpikir ini sepadan. Setelah mengetahui bahwa dendamnya masih melambung tinggi kepada gadis yang selalu menatapnya iba sejak dulu, bahkan sampai hari ketika gadis itu terjatuh dari atap tanggal lima belas bulan tiga. Ketika semua yang diperkirakan telah benar-benar matang. Namun ternyata, Tuhan memberikan gadis itu hadiah. Anehnya, Tuan dan Nyonya Yang bahkan lebih memperlakukannya lebih lembut.

Gadis yang berusaha keras mencari pembenaran itu ingin mengumpulkan bukti dan meminta penjaga kamera pengawas untuk menunjukkan sesuatu. Walaupun hasilnya berulang kali nihil, dia tetap tidak menyerah. Rasa sesak yang sama ketika anak setinggi seratus meter mengenakan pakaian sekolah yang lusuh dengan bercak-bercak darah di sekitar punggungnya.

Tatapan gadis yang berambut panjang bergelombang, tatapan dua orang dewasa yang tampak terkejut. Mereka yang bisa melakukan sesuatu, bisa membantu dan memikirkan cara yang lebih dewasa, tetapi enggan untuk turun tangan. Gadis seusianya yang dengan bangga ikut menonton sambil meremas tangan wanita yang memberinya pelukan juga perlindungan.

Tidak ada yang bisa dilakukan. Tidak ada yang mengulurkan tangan untuk membantu padahal kemarin sore mereka bersorak-sorai untuk si gadis yang memenangkan peringkat pertama. Pasalnya, pujian-pujian yang saling berkumandang, saling terlontar dengan senyum, pujian kecil yang setidaknya melambungkan jiwanya tinggi, tetapi ketika sesuatu menimpanya tidak ada yang bisa bahkan melontarkan senyum menyemangati.

Salahkan mereka yang memberikan pujian dan senyuman palsu! Bukankah itu menyadarkan diri sendiri? Ketika mampu mengulurkan tangan, tetapi enggan.

Sampai hari yang berdarah-darah itu tiba dan mereka meninggalkan anak yang beranjak remaja itu sendirian. Meninggalkan kenestapaan dan kengerian ditinggalkan teman bicara, ditinggalkan si kecil penghibur nakal, dan masakan hangat yang nikmat. Ketika tubuhnya tergantung terbalik dan semuanya menghilang.

Woo-Soo mencoba menemui kembali paman Suhee yang marah-marah. Paman Kim tampak mengetat ketika nama Ji-Hoon muncul ke permukaan. Menyebabkan gelenyar pertanyaan yang mengantisipasi Woo-Soo tentang hubungan siswa-siswi tersebut.

Paman Kim tidak pernah meninggalkan ranjang Suhee kecuali ketika perawat atau dokter jaga yang meminta. Meski begitu, laki-laki tua swag itu memiliki rambut pirang bergaya blonde tebal yang di belah tengah, rantai menghias di leher dan di celananya. Sepatu kulit yang bagian atasnya sampai betis berwarna cokelat. Kain tebal berbulu yang ketika tangan laki-laki itu bergerak, benang-benang halusnya beterbangan.

Laki-laki yang berpakaian kasual sesekali mengintip dari temboknya ketika belokan tajam. Woo-Soo memasukkan tangan ke saku celana dan bergerak sedikit demi sedikit untuk menuju ke meja informasi.

“Bae Woo-Soo, polisi tingkat dua dari unit kejahatan serius kepolisian Yongin.” Dia memperkenalkan diri sembari menunjukkan kartu identitasnya yang berada di dalam dompet. Laki-laki itu sekali-sekali melirik paman Suhee yang kini menunduk. Dari rautnya tampak frustrasi.

“Ada yang bisa saya bantu?” sahut salah satu perawat yang tadi hendak menyuap sesendok sundae yang akan mengisi perutnya. Ini memang jam makan siang. Woo-Soo tidak tahu kondisi.

“Apakah gadis yang kecelakaan kemarin sudah siuman?”

Ajik-e-yo.” Wanita itu mengatakannya sambil menggeleng. Woo-Soo mengerang dibuatnya.

“Tolong hubungi saya jika gadis itu sudah siuman.”

Woo-Soo beranjak di tempat tanpa berterima kasih. Wanita yang waktunya diganggu sebanyak dua menit itu hanya menatap punggung tanpa rasa bersalah dan menggeleng pelan. Woo-Soo mau tidak mau harus memikirkan cara lain agar Paman Kim mau memberitahunya.

Sekitar dua puluh langkah dari tempat Woo-Soo berdiri, Paman Kim tampak gelisah ke sana kemari, mondar-mandir tidak jelas seperti teringat sesuatu atau membutuhkan sesuatu. Kepikiran sesuatu? Tidak terlalu jelas apa penyebabnya, tetapi laki-laki itu langsung menuju meja informasi. Woo-Soo yang melihat itu berdiri di tempat sebelumnya agar melihat dengan jelas dan mendengar dengan saksama.

Perawat dengan mulut penuhnya berdiri. Menatap dan mendengarkan pertanyaan tidak jelas dari paman Suhee yang membuatnya kelabakan.

“Itu ... siapa itu?” tanya paman Suhee, “laki-laki yang kemarin datang ke sini. Dia ... polisi!”

Mata Woo-Soo membelalak, dia menyadari bahwa kehendak langit ada padanya hari ini. Dia berjalan dengan gagah berani menghampiri laki-laki itu yang kebingungan menjelaskan pada si perawat yang ternyata sedang meminta nomor kontak karena penyampaiannya yang terbalik.

“Saya ...,” sapa Woo-Soo.

Laki-laki itu langsung merangkul leher Woo-Soo keras dan menariknya ke depan kamar yang berada keponakannya. Menunjuk-nunjuk kamar yang tertutup itu sambil berteriak, meminta Woo-Soo untuk jangan kembali menginjakkan kaki di sini.

Woo-Soo berusaha untuk melepaskan rangkulan tersebut dan meminta Paman Kim untuk melepaskan, bisa dikatakan cekikan, tersebut. Membunuh polisi sama saja membunuh pahlawan.

“Paman!” teriak Da-Reum yang datang dari arah meja.

Kedua tangan yang meraih leher Woo-Soo lepas berganti dengan tubuh lemah dan tatapan sendu dari pria tua yang suka merusuh.

Da-Reum berlari dan menjelaskan, “Polisi ini kakaknya Juee.”

Raut laki-laki tua tampak bingung. Tangan yang lemah itu terkulai ke samping badannya dengan mulut sedikit terbuka, dua bola mata hitam itu melirik laki-laki yang memijat tengkuk lehernya karena sakit. Laki-laki yang menurutnya sangat mengganggu karena Suhee tidak akan pernah seperti itu. Menyakiti dirinya sendiri. Bagaimana bisa seseorang yang selalu mewanti-wanti rambu lalu lintas, menyeberang ketika lampu berubah merah. Mustahil. Akan tetapi, kehadiran Da-Reum memperjelas keadaan.

Ketakutan Da-Reum hanya di tenggorokan saja. Sudah lebih dari satu minggu dia menghindari semua orang. Keterlibatan satu dengan yang lainnya. Hubungan yang terjalin di antara banyaknya teman-teman yang sama sekali tidak dikenalinya. Pun Ahn-Jeong yang tiba-tiba muncul dan ... seolah-olah semuanya memang begitu adanya. Namun, ketika mempelajari buku diarinya selama tiga bulan itu, kejadiannya justru berbanding terbalik.

Kenapa dia baru membuka buku itu sekarang? Da-Reum terlalu mengabaikan rentetan peristiwa dari masa itu ketika tragedi awal dari semuanya tidak terjadi. Semuanya terjadi karena dirinya hadir. Dirinya ada.

“Ada apa sebenarnya dengan kalian?” tanya Paman Kim. Tatapannya menerobos ke relung terdalam yang menyayat.

Woo-Soo tampak terkejut karena hati si Paman tidak seperti eksistensi luarnya. Berbeda dengan Da-Reum yang tersenyum miris sambil mendekat. Seperti Da-Reum yang maju selangkah, Woo-Soo memberi lebih banyak ruang agar keduanya bisa berbagi cerita.

God's Gift: 100 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang