Tajuk 2: 21 Desember 2014

18 2 0
                                    

“Aa!” teriak Da-Reum. Kedua tangannya terulur hendak meraih apa pun untuk digapai. Namun, tidak ada yang dapat diraihnya. Seolah-olah Tuhan merestuinya pergi dengan keadaan yang sama seperti Juee. Jatuh dari ketinggian, di atap sekolah yang ditempatinya. Dadanya sesak.

Ini yang dirasakan Juee. Ketakutan yang tidak bisa diceritakan, tidak ada seorang pun yang dapat dimintai bantuan. Da-Reum menatap langit malam yang sangat gelap tanpa adanya bintang. Dia melayang di udara lalu menangis, menutup mata kuat. Kemudian membuka matanya kembali. Langit malam menjadi penuh bintang.

“Hah!” Da-Reum terbangun. Seluruh tubuh bergetar hebat dan karingat menyembul dari setiap pori-pori. Gadis itu mengerjap berkali-kali, dia kini berada di kelasnya. Seperti sebuah mimpi yang begitu menakutkan baru terjadi. Da-Reum mengatur napas untuk menenangkan diri seraya memukul pelan dadanya.

Da-Reum menyelidik sekitar. Jam dinding bulat dengan tepi hijau tua terpajang di atas papan tulis. Papan tulis berwarna senada sepanjang dua meter menempel pada dinding putih tulang. Lebih gelap. Lalu di samping kiri dan kanan, kaca jendela bersih berjejer rapi. Loker hijau tua tempat anak-anak menyimpan perlengkapan sangat tertata dengan pintu yang tertutup. Kelasku, batin Da-Reum.

Punggung tangan Da-Reum menyeka keringat yang berjatuhan melalui rahangnya. Kedua tangan bergantian menyentuh seluruh tubuh, mulai dari wajah, kepala, badan, sampai ujung kaki. Tidak ada yang hilang. Semua anggota badannya lengkap. Di luar terdengar suara bisik-bisik. Da-Reum menoleh ke pintu yang berada sejajar dengan papan tulis lalu beralih pada pintu satunya yang sejajar dengan loker.

Sosok yang amat dikenalnya keluar dari kayu yang dibuka dengan cara digeser. Gadis yang beberapa waktu lalu menyebabkan hidupnya berantakan. Sahabat yang beberapa bulan lalu membuatnya menjadi onggokan sampah yang hina. Napas Da-Reum masih menderu.

“Yak!” teriak vokal paling familier dalam pendengarannya.

Da-Reum memutar tubuh. Kedua tangannya menangkup wajah karena tidak percaya dengan penglihatannya. Da-Reum menangkap kertas berisi angka-angka yang beberapa sudah ditandai merah.

“Da-Reum-ah!” panggil gadis di belakang Da-Reum. Da-Reum tidak berani untuk menoleh. Fokusnya ada pada tahun yang tertera pada kertas putih itu. Tahun 2014.

Da-Reum menoleh perlahan, takut kalau dirinya menjadi arwah gentayangan karena sudah mati. Sosok yang dirindukan, tetapi paling dibenci Da-Reum ada di belakangnya sedang mengomel. Temperatur dingin menyelinap begitu saja.

“Juee?”

“Apa? Ayo, kita nanti telat!” ajak Juee yang berlalu setelah membenarkan gelang persahabatan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

“Buruan!”

Kebingungan menyelimuti Da-Reum. Kedua matanya kembali memastikan kalender tahun 2014 itu. Gadis itu berlari menyusul Juee yang sudah bersama Suhee. Dengan napas tersenggal, dia mencoba untuk bertanya selantang mungkin.

“Sekarang beneran tahun 2014?” tanya Da-Reum lancar.

“Lha, ia. Tanggal 21 Desember 2014.” Juee membenarkan ikatan rambutnya, lalu menatap Suhee. Keduanya memandang aneh pada Da-Reum.

“21 Desember?”

Ingatan Da-Reum langsung tertuju pada kejadian mengerikan yang tidak ingin diulangnya kembali. Akan tetapi, benarkah hari ini bisa diperbaiki?

“Ck. Ayo, buruan!” seru Juee ketika Da-Reum kembali terdiam.

Da-Reum sama sekali tidak mengindahkan panggilan Juee. Otak gadis itu belum bisa merespons akan kejadian yang baru saja menimpa. Apa dirinya sudah mati atau kejadian dan rasa sakitnya selama ini hanyalah sebuah mimpi? Atau ilusi? Da-Reum masih mengatur napas dan pacu jantung yang seakan-akan telah berlari sepuluh keliling lapangan. Terjatuh dari atap gedung, dari lantai lima, benar-benar bukan main.

Kini, Da-Reum berada di dalam kelas dan bertemu dengan Juee di tahun lalu. Mungkin beberapa bulan lalu. Bae Juee? Bahkan, aku melihat dengan jelas jasad Juee yang telah selesai diautopsi. Pada hari dan bulan yang amat dibenci.

“Yak!” panggil Suhee bernada ketus di ambang pintu.

“Jangan bilang kalau kamu takut buat masuk ke ruang guru!” sindirnya masih bernada sama.

Kilatan mata itu membuat Da-Reum semakin linglung. Lantas, Da-Reum mengingat kejadian ketika mereka menyusun rencana untuk mengambil kertas ujian. Pakaian yang sama. Bando yang dikenakan Suhee, ikat rambut di pergelangan kanan Juee, dan–

Da-Reum tidak menemukan gelang di pergelangan tangannya. Kedua sahabat Da-Reum menatap lekat, sama-sama mengerutkan kening karena Da-Reum bertingkah aneh. Apa lagi, keringat mengalir deras di wajah, membuat kedua gadis yang menyusun rencana terselubung itu saling melempar tatap. Suhee bergeser untuk membisiki sesuatu di telinga Juee.

“Yak! Wang Da-Reum!” bentak Suhee. Juee pergi begitu saja.

Da-Reum bergegas keluar untuk menghentikan Juee dan berteriak, “A–apa kita mau curi lembar soal ujian akhir?”

“Syuut!” Suhee mendekatkan telunjuk di bibir dan menilik Da-Reum tajam.

Sedangkan Juee menghentikan langkah dan memelototi Da-Reum  “Gila apa! Gimana coba kalau penjaga denger suara kita!”

Da-Reum melirik kedua sahabatnya bergantian lalu menebak, “Kalian udah nyusun rencana buat merekam aku lagi masuk diam-diam ke ruang guru!”

Suhee dan Juee sontak terperangah. Kedua gadis itu linglung seperti yang dialami Da-Reum tadi. Bertukar pandang dengan sorot bertanya seraya memainkan mata, lalu Suhee merangkul Da-Reum dan menanggapi, “Da-Reum-ah! Mana ada? Kita ini sahabat enggak mungkin kita ngelakuin itu!”

“Bener, enggak mungkin!” timpal Juee ikut mendekat. “Kalau dirimu enggak mau terlibat, biar kita aja! Kita enggak apa-apa, kok. ”

Da-Reum mengabaikan mimik yang pernah membuatnya menderita. Entah mimpi atau kejadian asli, entah benar atau salah keputusan yang diambilnya sekarang, dia hanya ingin memastikan kesakitan itu tidak benar-benar terjadi. Menatap lekat kedua sahabatnya, Da-Reum langsung berbalik arah menuju kelas untuk mengambil ransel. Dia ingin pulang untuk menenangkan diri.

God's Gift: 100 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang