Tajuk 11: Sisa 80 Hari

3 1 0
                                    

Da-Reum terus menahan tangan Suhee yang terus mengerahkan kekuatannya agar senjata yang ujungnya sudah mengenai rahang bisa sampai ke leher. Dengan sisa tenaga yang ada Suhee mencondongkan badan berharap menambah kekuatan. Namun, tubuhnya kini terpental mengenai loker yang salah satu pintunya terbuka sampai mengenai tulang rusuknya.

Suhee langsung terduduk. Gadis itu menekan bagian atas perut di sisi kanan dan terdengar meringis. Dia melirik pada sosok tinggi besar yang membantu Da-Reum bertahan. Sialan! Air mata membasahi pipi kiri disusul pipi kanan. Dalam posisi tersebut, Suhee melirik teman yang berganti status jadi musuhnya sejak dua minggu yang lalu. Rambut hitam berhias tepung itu menutupi wajah, tetapi penglihatannya masih jelas.

"Enggak apa-apa, kan, Da-Reum?" tanya Hee-Sun sambil berjongkok dan melirik laki-laki yang telah membantu temannya.

Laki-laki itu berjongkok dengan lutut kanannya menempel pada lantai, memperhatikan gadis di depannya yang mengaduh karena perih akibat luka gores. Beruntung, gadis itu cepat menggeleng sebagai jawaban.

"Apa dia sudah gila?" cerca teman lain. Keadaan kini sangat kacau karena banyak dari murid kelas tersebut malah heboh pada sesuatu yang tidak perlu.

"Aish! Kaget banget!"

"Iljin!"

"Bukankah seharusnya kita beritahu wali kelas?" tanya ketua kelas yang tengah melipat dada, santai menonton, menoleh pada Ahn-Jeong lalu menoleh pada Da-Reum.

Da-Reum berdiri dengan suaranya yang tertinggal dia membentak, "Enggak perlu!"

"Kenapa?"

"Wae?"

"Andwe!" Da-Reum menempelkan plester—benda yang selalu tersedia di ransel kecilnya kala jari-jarinya terluka saat menulis—pada rahang sebelah kanan.

Da-Reum mengabaikan Suhee lantas berjalan pada jalur yang memisahkan dua bangku. Memperlihatkan tanda-tanda perundungan yang dilakukan oleh seluruh murid di kelasnya. "Sepertinya kalian memang belum dewasa!" hardiknya.

Meja berimpitan diatur dengan mengikuti jarak yang sudah ditentukan, sejajar dengan bangku rapi di baris depan. Semua murid yang mendengarkan perkataan Da-Reum dibuat bingung. Mereka saling berpandangan tanpa sedikit pun mengikuti kegiatannya.

Tatap mata Da-Reum sontak membikin si ketua kelas menggerakkan kedua tangan dan ikut mendorong membereskan barang. Da-Reum menatap Hee-Sun sambil tersenyum kecut. Hee-Sun hanya bisa menggeleng lantas keduanya melirik Suhee.

"Ada apa ini?" Choi-saem sudah berdiri pintu masuk lalu berjalan menghampiri mimbar. Dandanan yang sederhana, tetapi sangat cantik nan elegan itu berpadu dengan wewangian yang menguar ke seluruh ruangan.

Laki-laki berusia hampir empat puluh tahun berdiri di belakang Choi Sun-Bin sambil membawa tongkat yang panjangnya lima puluh senti, digerakkan serupa memukul telapak tangan. Guru olahraga yang hari ini bertugas mengamankan bak pengawal dengan jaket tebal hitam dan celana bahan hitam. Gaya rambut agak gimbal, tanpa disisir membuat Pak Choi tidak terurus.

Pak Choi mengikuti setiap langkah wanita berambut sebahu yang mengitari kelas. Mengecek satu per satu hal yang terjadi. Sebagai dari murid masih berdiri. Bola mata hazel itu langsung tertuju pada wakil muridnya dan mulai mencerca, "Apa liburan membuatmu lupa akan kewajiban sehari-hari? Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dan—"

Choi Sun-Bin menangkap murid sekaligus sepupu jauh yang sedang menahan sakit. Pak Choi yang baru menyadari hal tersebut langsung menghampiri si gadis.

"Suhee?" tanya Pak Choi sedikit membungkuk. "Ada apa?"

Juee yang sedang duduk seraya membenamkan diri dibalik sweater tebal berpura-pura tertunduk dan baru bergerak sekarang. Hal itu sangat penting dan baru disadari Da-Reum. Masalah apa yang terjadi di antara keduanya? Siapa yang memanggil Bu Choi kemari?

Bola mata Da-Reum melihat gadis cantik dan saudara kembarnya di ambang pintu. Menyadari kalau guru itu datang karena panggilan mereka.

"Apa pun yang terjadi hari ini akan menjadi tanggung jawab sekolah. Kalian siswa akhir tahun. Tolong ... jangan macam-macam apa lagi sampai membuat perkara yang mencoreng nama baik sekolah!" tegas Pak Choi setelah wanita yang didampingi keluar dengan sengaja menyaringkan entakan kakinya hingga terdengar sampai ujung koridor.

Hasil Keputusan
Komite Kedisiplinan Sekolah Dengan Ini Memutuskan:
Kim Suhee
Menskors murid tersebut selama tujuh hari pembelajaran sekolah
Sanksi lain:
Membayar denda dan menjadi sukarelawan kebersihan sekolah selama satu bulan

Yongin, January 4th 2015

Ketua Komite Kedisiplinan

Pemberitahuan itu dikirim melalui email. Da-Reum menerima pesan elektronik tersebut pada pagi hari. Sebagai korban, seharunya dia merasa bahagia. Akan tetapi, rasa bersalah lebih mendominasi.

Hari libur masih tersisa lima belas hari lagi. Da-Reum memutuskan berjalan-jalan ke daerah Yeoksam-dong untuk mengetahui kabar Suhee. Dia hanya mengajak Geu-Ram agar tidak kebingungan karena tidak tahu jalan. Da-Reum sangat tidak puas dengan otaknya ketika menghapal rute. Dari keluarganya yang berjumlah empat orang tersebut, dia hanya bisa menghapal satu jalur pribadi karena sering melewatinya.

Anak laki-laki itu menggerutu. Meskipun bisa menolak, dia akan mengalah karena kebutuhan yang bisa diberikan sang kakak padanya. Geu-Ram mengenakan celana jins, kaus putih dengan kerah yang tinggi menutup leher dibalut mantel panjang hitam. Dia melangkah keluar menemui Da-Reum yang berpenampilan hampir sama. Jins putih, kaus panjang hitam dengan kerah sampai leher, dan mantel putih.

"Ouh!" keluh Geu-Ram melihat kakaknya membawa ransel yang biasa dipakai sekolah. "Enggak ada tas lain selain ransel buruk itu?"

"Kenapa?" Da-Reum melotot sambil berceloteh, "ini enggak seburuk yang terlihat!"

Kakak beradik itu berjalan melewati gang-gang kecil untuk mencapai tempat yang dituju. Kedai-kedai yang mengeluarkan aroma sedap selalu menarik perhatian sang adik. Beberapa kali berhenti karena terpikat membuat kakaknya tidak bisa berkonsentrasi. Dia menarik lengan Geu-Ram untuk membawanya kembali ke jalur yang sesuai.

"Noona!" seru Geu-Ram karena dilarang membeli ini dan itu sepanjang jalan.

"Nanti! Setelah kakak dapat apa yang kakak mau. Kakak traktir kamu sepuasnya?"

"Serius?"

Da-Reum mengunci mulutnya ketika berpapasan dengan laki-laki yang amat dikenalnya. Yang Ahn-Jeong sedang berdiri menyantap Odeng di penjual keliling, mobil bak terbuka. Laki-laki itu sendirian dan memandang Da-Reum yang tengah ribut.

"Ehm!" Geu-Ram berdeham lalu mulai mengejek, "Apa aku harus membeli yang kumau sekarang?"

Tangan kanan Da-Reum melambai pada Ahn-Jeong lalu menggenggam tangan adiknya yang berjalan mundur. Gadis itu mengancam, "Bukan. Dia bukan tujuan Noona. Kalau berani pergi dan main-main dari sini, kau tidak akan mendapatkan apa pun."

Da-Reum melirik adiknya sekilas sebelum menghadapi tubuh tegap tinggi yang menghampirinya. Senyum keduanya mengembang, genggaman tangan semakin mengetat. Ah, kenapa harus ketemu sekarang?

God's Gift: 100 DaysWhere stories live. Discover now