Tajuk 9: Semua Berubah

3 2 0
                                    

Suhee mengerutkan kening karena dorongan Ji-Han terlalu menyudutkannya. Entah siapa yang memberitahu gadis itu tentang hubungannya dengan Ji-Hoon, dia harus menemukan cara agar bisa pergi dari sana secepatnya dan meminta pamannya untuk menghapus video.

Setiap napas yang berembus di musim dingin menghasilkan uap. Begitu juga deru napas Suhee dan Ji-Han. Keduanya menginginkan tujuan mereka tercapai tanpa terhambat sesuatu apa pun.

Ji-Han kembali bertanya, "Apa hubungan kalian?"

"Enggak ada! Kita cuma teman. Kayak kamu sama aku, aku sama Juee. Enggak lebih dari itu!"

Suhee mundur, memberi banyak jarak agar dia bisa mencari celah untuk pergi secepatnya tanpa harus melibatkan diri terlalu banyak. Gadis itu menggigit bibirnya kala Ji-Han yang mengikis jarak di antara mereka.

"Ji-Hoon menyuruhmu memfitnah Da-Reum?" Ji-Han mempertegas pertanyaan seraya mempertajam pandangan. "Kalau benar begitu, aku harus memberi tahumu, kalau dia ... tidak benar-benar membutuhkanmu."

"Maksud—"

"Berhentilah. Kembali lagi berteman dengan Juee dan Da-Reum seperti biasanya. Melakukan segala hal bersama. Jangan terpengaruh dengan hal 'manis' yang dia berikan!"

Setelah berbalik Ji-Han menambahkan, "Kesalahan tahun lalu murni kesalahan teknis sekolah dan bukan kesalahan Da-Reum. Nilai dia ... murni dari kecerdasannya sendiri!"

Langkah tegas Ji-Han berhenti di jalan berbelok. Dia mengatur napas karena sudah melawan kehendak hatinya untuk melawan sang kakak. Dia tidak pernah berpikir kalau kejadian tempo lalu yang melibatkan turunnya peringkat Ji-Hoon dapat memengaruhi laki-laki itu sebanyak ini.

Suhee yang kehilangan oksigen itu berjongkok. Aku mati, ahshit!

Bu Wang sudah menegaskan pada Da-Reum bahwa dia akan menutup tokonya setelah malam berlalu dan dia tidak diperbolehkan pergi sebelum itu. Toko kecil mereka memang selalu, terlalu ramai di hari-hari seperti sekarang. Da-Reum hanya bisa mengutuk dalam hati dan tidak lupa berdoa agar kue-kue yang berjajar rapi itu segera terjual habis sebelum tengah malam.

Sambil menunggu Hee-Sun, Da-Reum mencuci piring, gelas, dan peralatan lain di wastafel. Namun, karena tidak fokus, selalu menoleh ke arah pintu setiap kali lonceng berbunyi, tangannya yang licin menjatuhkan gelas di atas tumpukan piring. Menimbulkan kegaduhan.

"Hei, noona, kau gila? Mau mati?" gerutu adiknya yang sedang mengeringkan peralatan makan. Fokusnya jadi terganggu dan orang tua mereka datang ke lokasi kejadian.

"Ada yang pecah? Kalian enggak apa-apa?"

"Hah ... anak ibu yang satu ini sepertinya sedang menunggu kekasih yang turun dari mobil SUV putih bersama raja dan ratu yang menyeramkan."

"Hush!" sanggah ibu dan ayahnya bersamaan.

"Ah, annyeong haseyo!" sapa ayahnya setelah Da-Reum kembali menggosok gelas-gelas dan membilasnya.

"Wang Geu-Ram!"

"Hoh?"

Da-Reum melepaskan sarung tangan cuci merah dan disimpan di sisi wastafel yang sudah bersih. Dia bertanya, "Apa temanmu wanita semua?"

"Tentu. Aku, kan, tampan!" balas Geu-Ram seenaknya.

Kemudian lima jarinya menghitung yang membuat sang kakak memperhatikan dengan saksama. Namun, Geu-Ram kembali mengusap gelas dan peralatan yang sudah dicuci dan disimpan pada tempatnya. Melihat orang tuanya sibuk, Geu-Ram sigap membantu menyebutkan pesanan yang akan dibungkus.

Da-Reum pun kembali melihat pintu ketika loncengnya berbunyi. Sosok yang diharapkan muncul tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali.

"Wang!"

"Nee."

"Yee!"

Da-Reum dan Geu-Ram sama-sama menoleh pada ibu mereka yang menyapa tamu. Meminta anak-anaknya untuk mengelap meja dan membantu melayani muda-mudi yang saling memeluk. Kakak beradik itu sama-sama disibukkan dengan dua pasangan yang berkencan satu sama lain. Meskipun berbeda tempat, tetapi aura keduanya tetap sama.

Lonceng kembali berbunyi. Membuat Geu-Ram kini menarik baju hijau mist Da-Reum dua kali. Tuan dan Nyonya Wang yang seluruh tubuhnya sibuk kini mematung. Tiga orang di ambang pintu memberikan efek yang berbeda.

"Silakan masuk," sapa Da-Reum meminta keluarga tersebut untuk duduk di meja nomor lima yang memiliki tiga kursi.

Laki-laki tua di samping anak muda itu tersenyum mengangguk. Di saat bersamaan tamu lain berdatangan, pria berusia lima puluhan itu meminta Da-Reum untuk melayani yang lain terlebih dahulu. Ketika kursi di dalam penuh, Geu-Ram langsung membalik papan dada di pintu kanan.

"Nyonya ...." Ibu Wang menyapa terlebih dahulu. Wanita tua yang berbincang dengan suaminya itu berdiri menyambut.

"Jangan terlalu sungkan, kami datang sebagai pelanggan."

"Ah, bagaimana kabar Anda, Tuan Yang?"

Da-Reum melirik sekilas keluarga itu. Apa lagi laki-laki tinggi yang duduk di tengah orang tuanya. Gagah. Tampan. Di usianya yang hampir sama gaya mereka sangat berbeda. Pembawaan laki-laki itu sejalan dengan makna 'kaya' yang sesungguhnya.

Rambut mulet potongan rapi, baju kaus merah cerah dibalut mantel hitam yang memiliki kerah tinggi serta celana panjang hitam yang pas di kaki panjangnya. Ahn-Jeong memiliki kesan luar biasa tanpa baju seragam biru tua. Kalau dipikir-pikir, Da-Reum sudah muak dengan pakaian itu.

Mereka mengobrol sambil melayani para pelanggan yang satu per satu sudah mengosongkan tempat. Geu-Ram yang diam-diam memperhatikan pandangan kakaknya berjalan ke dekat pintu dan memperbaiki papan karena tempat sudah mulai kosong.

Ahn-Jeong berdiri lalu meminta izin. "Aku akan memesan!"

Tuan dan Nyonya Yang mengobrol dengan Pak Wang. Sedangkan, Ahn-Jeong mulai mendekati Da-Reum yang sedang mengantar makanan bolak-balik, pura-pura tidak memperhatikan laki-laki itu. Ibu Wang berdiri di konter pemesanan.

"Hm, Tuan dan Nyonya Yang sepertinya sedang santai, ya?" Ibu Wang membuka obrolan. "Buktinya bisa mampir ke toko kecil kami."

"Ayah sudah mengambil tempat yang nyaman untuk bisa berada di rumah, Bi!"

Mendengar panggilan Ahjumma, membuat ibu Wang terenyuh. "Tuan muda mau pesan apa? Biar bibi buatkan."

"Aku pikir bibi masih mengingat kesukaanku." Ahn-Jeong tersenyum lalu menunduk dan meneruskan, "Choco ...."

"Choco cake dengan krim keju?" Ibu Wang tersenyum getir. "Selain itu?"

Ahn-Jeong terdiam. Dia juga mengatur napasnya sebelum menjawab, "Enggak ada, Ahjumma."

Da-Reum menyapa Ahn-Jeong dengan anggukan. Dia menyimpan nampan berisi piring kosong untuk diantarkan pada Geu-Ram. Dia hanya lewat dan mengambil lap untuk membersihkan mejanya.

Tangan Ahn-Jeong berada di atas punggung tangan Da-Reum. Keduanya berpandangan lalu Ahn-Jeong bertanya, "Ada yang bisa aku bantu?"

Da-Reum menggeleng sambil melepaskan tangan. Dia kembali mengelap meja bundar, merapikan kursi, mengantarkan pengunjung pergi, lalu tersenyum ramah.

"Aku ... aku enggak baik-baik aja." Ahn-Jeong duduk sambil memandang ke depan. Kue cokelat dengan keju krim di atasnya baru saja Da-Reum hidangkan. Mereka kembali saling memandang dan mata itu kembali mengingatkan Da-Reum makna kepedihan.

God's Gift: 100 DaysWhere stories live. Discover now