SEASON 2 : 31. Perubahan

301 18 3
                                    

"Bella, sekarang kamu pasti sudah puas, 'kan?" Darla tersenyum lebar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Bella, sekarang kamu pasti sudah puas, 'kan?" Darla tersenyum lebar. Sangat lebar. Namun, senyuman itu justru membuat Bella merasa ketakutan.

"Ma--maksud Kakak apa?" tanya Bella dengan raut wajah kebingungan.

"Kamu pasti sudah merasa senang karena aku sudah mati! Itu yang kamu mau, 'kan? Kamu yang bilang sendiri kalau kamu membenciku dan aku sudah jadi kakak yang gagal. Bukankah itu artinya kamu ingin aku mati?" Senyuman di bibir pucat itu menipis.

"Eng--enggak. Aku gak pernah bermaksud gitu. Aku—"

"Sudahlah. Semua ucapan yang keluar dari mulutmu itu bohong. Kamu memang ingin aku mati, 'kan?"

"Kamu ingin aku mati!"

"Kamu ingin aku mati!"

Darla membelakangi Bella yang nampak ketakutan. Di bawah jembatan ini, ada sungai yang mengalir deras. Batu-batu besar dan kecil muncul dari dalam sungai itu. Darla menatap ke belakang, menatap tajam ke arah Bella, kemudian menyeringai.

"Sekarang, aku akan mati!"

Sesaat setelah ia mengatakan itu, Darla langsung menjatuhkan tubuhnya di sungai.

"Kak Darla!"

Bella terengah-engah. Peluhnya bercucuran memenuhi tubuhnya. Ia menatap sekeliling. Tembok, lukisan, meja rias ... ia berada di kamar. Ia menghela napas berat. Semuanya hanyalah mimpi.

"Mimpi itu lagi," gumamnya sembari menggenggam kepalanya, frustrasi. Walau sudah bangun dari mimpi itu, entah kenapa jantungnya masih saja berdetak kencang. Ia menutup mata erat-erat.

Setelah merasa tenang, ia segera turun dari kasur dan mengambil handuk yang tergantung di gantungan baju.

***

Setelah kejadian 6 tahun yang lalu, Bella memutuskan untuk melarikan diri ke Inggris. Ia tidak bisa berada satu negara dengan Alvin. Ia takut akan bertemu laki-laki itu di mana saja.

Saat itu, ia langsung ke apartemen Alice dan menangis di sana. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia sangat terpuruk atas kepergian Darla dan butuh sosok penyemangat. Akan tetapi, Alvin malah membuatnya semakin hancur.

Rasa bersalah atas kepergian Darla tidak pernah hilang sampai sekarang. Ia selalu berpikir, kenapa Darla melakukan semua itu? Kenapa Darla mengkhianatinya? Kenapa Darla meninggalkannya setelah itu? Harusnya, dari awal Darla tidak usah mengambil resiko jika tidak sanggup menanggung akibatnya. Kenapa ... Darla membuatnya merasakan penyesalan seperti ini?

Kapan rasa menyesal itu akan hilang?

Kapan rasa menyesal itu berhenti menghantuinya?

Kapan mimpi buruk ini akan berakhir?

Begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa terjawab dalam pikirannya. Dan ia tidak tahu harus sampai kapan menanyakan hal yang sama setiap hari. Semua rentetan kejadian yang menimpa hidupnya membuatnya berubah.

"Anda bisa kerja tidak? Proposal sampah seperti ini tidak bisa dibawa untuk meeting besok. Perusahaan ini menggaji Anda bukan untuk melakukan semua ini. Saya tidak mau tahu, besok Anda harus bawa proposal baru yang lebih baik dari ini. Cepat keluar!" Bella mengamuk pada salah satu karyawannya. Suaranya bahkan terdengar sampai ke luar ruangan.

"I--iya, Bu. Maafkan saya," ujar karyawan itu sembari menunduk, kemudian keluar dengan tergesa-gesa dari ruangan Bella.

Ya, begitulah Bella sekarang. Tegas, galak, dan menakutkan. Setidaknya bagi para karyawannya.

Di Inggris, Bella melanjutkan studinya yang tertunda karena masalahnya dengan Alvin. Susah baginya untuk menyesuaikan diri di negara asing ini. Namun, seiring berjalannya waktu, ia akhirnya bisa menyelesaikan kuliahnya.

Ia bekerja di salah satu perusahaan yang tidak cukup terkenal di Inggris. Namun, bisa dibilang cukup besar. Dari karyawan biasa, hingga ia menjadi seperti sekarang, ketua manajer tim pemasaran di kantornya. Sudah 6 tahun ia berjuang untuk hidup. Itu merupakan kurun waktu yang tidak sedikit. Hingga akhirnya ia bisa sampai di titik ini.

Bella meninggalkan ruangannya dengan wajah datar yang cenderung sinis.

"Kamu kenapa? Dimarahi lagi sama Bu Bella?" Setibanya karyawan tadi di meja kerjanya, ia langsung mendapat perhatian dari beberapa teman-temannya.

"Iya. Tidak bisakah dia memberitahu orang secara pelan? Kenapa harus selalu marah-marah? Pantas saja dia menjadi janda di usia muda. Pasti mantan suaminya tidak tahan dengan wanita galak seperti dia!" ujar karyawan itu dengan nada kesal.

"Ekhem! Dari pada berbicara tentang keburukan orang lain, lebih baik waktu Anda digunakan untuk membuat proposal baru yang lebih bermanfaat," tegur Bella.

Tidak mungkin baginya untuk tidak mendengar apa yang karyawannya ucapkan. Ia sudah terbiasa dengan hal itu, jadi tidak menaruh ke dalam hati.

***

Sementara itu di Indonesia, seorang laki-laki dengan kameja hitam tengah memandang langit yang dipenuhi oleh awan. Sudah waktunya makan siang, tetapi ia tidak berselera sedikit pun. Laki-laki itu hanya meminum kopi dingin yang sudah ia biarkan dari pagi.

Ceklek!

"Papa!"

Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka. Seorang anak laki-laki datang menghampirinya dengan manja.

"Avan, kenapa tiba-tiba datang ke kantor Papa?" Alvin berjongkok untuk menyeimbangkan tinggi dengan anak laki-laki itu. Walaupun masih tetap lebih tinggi dirinya.

"Avan bosan dengan makanan rumah. Bisakah Avan makan di kantor dengan Papa?" tanya Avan dengan wajah polos.

Alvin tersenyum tipis. Ia lalu mengelus pelan kepala putranya itu.

"Of course. Come on!"

Hola!!!! Lama tidak berjumpa!! Hampir dua bulan ya? Yah, saya hiatus cukup lama karena satu dan lain hal

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hola!!!!
Lama tidak berjumpa!!
Hampir dua bulan ya? Yah, saya hiatus cukup lama karena satu dan lain hal. Tadinya saya bakal balik tanggal 1 Agustus kemarin, cuman ya jadinya tanggal 1 September ya hehehe

Maaf banget aploadnya tengah malam banget, soalnya lupaa 😭

Saya kangen kalian semuaaaaTT
Pokoknya semoga suka part ini yaa 🌹

My Bad Husband [On Going]Where stories live. Discover now