Chapter 3 - Kartu yang Tidak Diundang

13 4 0
                                    

Aku ingin mengakui sesuatu.

Pada saat kejadian mengerikan yang terjadi di Negara kita tercinta ini—atau yang biasa disebut ‘ hari perubahan ‘ oleh masyarakat, aku yang berusia tujuh tahun kala itu adalah salah satu korban tak terhitung di dalamnya.

Aku ingat sekali, pada hari itu aku terpana untuk terus mendekati batu meteor yang jatuhnya tidak jauh dari tempatku tinggal. Tepatnya di sebuah lahan lebar yang sering warga kompleksku sebut lapangan serba guna.

Hari itu adalah hari ke dua puluh satu di bulan Oktober. Suasana hari itu lumayan mencengkam dengan beberapa kengerian ornamen-ornamen Halloween, tanda bahwa tetanggaku yang merayakannya sangat semangat menyambut akhir bulan.

Bahkan ada beberapa temanku juga sudah mulai memamerkan kostum masing-masing yang akan digunakan nanti.

Lalu pada malam harinya, batu itu meluncur begitu saja dari langit tepat jam sepuluh.  Benda itu meluncur begitu halus sampai tidak terasa keberadaannya.

Tidak terasa secara harfiah. Hampir semua orang tidak merasakan perubahan di langit atau yang kutahu juga dentuman keras karena batu itu bertabrakan dengan tanah.

Aku yang berusia tujuh tahun kala itu tidak mengetahui bahwa yang bisa mendengar atau mendekati batu itu hanya lah mereka yang disebut media massa sampai sekarang sebagai Pendengar frekuensi tinggi (Jika kamu bertanya pendapatku soal sebutan itu, tentu aku tidak akan malu mengatakan sebutan itu sangat konyol dan seperti melabel mereka yang mendengar. Aku menyebut mereka adalah yang terpilih)—termasuk aku.

Waktu itu, tubuh kami terasa begitu ringan dan bergerak seperti angin ke arah lapangan kompleks.

Tentu. Tentu aku sadar waktu itu, namun aku maupun yang lain tidak dapat berbuat apa-apa karena merasa amat terpana dengan langit yang begitu jelas dipenuhi bintang akibat dari lintasan batu itu.

Kejadian berlanjut ke awal mula kengerian itu terjadi. Kami yang mendekati dan sampai ke lapangan itu segera saja berlarian mendekati batu itu. Kami tidak segan berkelahi dan menjatuhkan yang lainnya hanya untuk mendekati batu itu.

Dan lagi, aku juga melakukan hal itu. Tubuhku semakin terasa ringan karena berlari hingga sangat mudah untuk melewati mereka yang mencoba menjatuhkanku. Aku tidak segan-segan memukul atau melukai
mereka yang sudah terlalu dekat denganku—bahkan ketika lawanku itu lebih besar dariku!

Kedengaran luar biasa untuk anak berusia tujuh tahun?

Ya, waktu itu aku memikirkan hal itu walaupun pikiranku dipenuhi hal lain. Aku seperti melayang-layang.
Pada akhirnya, akulah yang menjadi pemenangnya. Aku menjadi orang pertama dan satu-satunya menyentuh batu itu. Ketika aku melakukan itu, sulur cahaya berwarna ungu keluar dari dalam batu itu dan segera merambat masuk ke tubuhku.

Memberikan sensasi panas yang pada akhirnya…itu adalah hal yang terakhir kuingat sebelum batu itu meledak dengan suara yang sangat kencang.

Segar di ingatanku bahwa ledakkan itu seakan memecah pembatas sisi antara kami yang mendekati batu itu dengan mereka yang terlihat seperti biasa saja. Jeritan histeris terdengar dari mulut mereka yang mencoba menyelamatkan diri terdengar begitu jelas ditelingaku.

Bahkan aku yang ikut tergeletak akibat ledakkan menemukan seseorang yang sangat jelas mirip denganku sedang tergeletak di sisi berlawanan. Menatapku dengan tatapan yang terkejut—yang membuatku pingsan.

Lalu keesokan harinya, atau mungkin beberapa hari setelah itu aku siuman dan mendapati diriku berbeda dari yang dulu. Aku sempat histeris dan meracau tidak stabil, aku sampai menyebutnya hari kesedihan—apalagi ditambah saat abangku menghilang setelah 3 bulan kejadian itu tanpa jejak.

Lalu lebih buruknya, entah mengapa setiap bulan kesepuluh atau saat aku sedang melihat banyak anak-anak yang berkeliaran dimalam hari dengan kostumnya di tahun-tahun berikutnya, aku selalu merasa gelisah.

Apa itu dihitung the great sorrow? Sayangnya, untuk saat ini aku tidak ingin membicarakannya terlalu jauh.

Intinya, karena aku adalah salah satu sukma—sebutan bagi mereka yang kata organisasi menyebalkan itu memiliki serpihan batu yang ada di dalam tubuhnya saat ledakan, aku dapat merasakan kartu yang tidak sengaja kutemukan di meja belajar adikku itu.

Kartu itu tipis dengan bentuk persegi panjang dan warna biru toska yang dihiasi garis keemasan. Kartu itu memiliki suatu pola yang terlihat seperti seseorang yang sedang mengantarkan surat—atau setidaknya itu yang kupikirkan karena mendapati tulisan the Sender  di bagian atasnya.

Jika dipikir-pikir kartu itu mirip seperti kartu-kartu yang ada di anime kesukaanku dulu namun versi ini terlihat lebih estetik dengan perpaduan warna-warni.

Sebenarnya niatku pada awalnya hanya membereskan buku-buku adikku yang berantakan. Namun karena kartu itu mengeluarkan energi gelap yang terkesan negatif di panca indraku, aku langsung tahu bahwa kartu itu bukan sembarang kartu.

Segera kusimpulkan  kartu itu mungkin berisi kutukan.

Tidak dapat di pungkiri bahwa aku sangat marah dengan adikku.  Setelah aku menemukan kartu ini, aku segera menariknya masuk ke kamarnya untun berbicara empat mata dengannya. Aku sangat yakin ini adalah sesuatu yang tabu (yang seharusnya tidak dimiliki adikku!) dan dapat mengancam kehidupan keluarga ini.

Serta kenyataan bahwa hari ini adalah hari pertama bulan Oktober.

Hari kegelisahanku—ya deh mengaku, aku suka memberi hari yang kulewati dengan sebutan berbeda-beda.

“ Dapat dari mana kartu ini?” tanyaku dengan mendesis tanpa basa-basi meladeni tolakkannya. Memberi tanda bahwa saat ini aku serius dan marah.

Adikku itu segera mengambil kartu yang ada di atas meja itu. Ia terlihat seperti ketahuan basah. “ Kakak tidak perlu tahu!” balasnya ketakutan, tahu bahwa apa yang ia lakukan sekarang mengusik singa dalam diriku yang biasa cuek dan serba santai.

“ Kamu” ucapku waktu itu sambil memijat mata. “ Apa kamu tahu kartu apa yang kamu bawa itu?” tanyaku sekali lagi.

“ Ini hanya sebuah kartu kan! Ini terkenal di sekolah baruku, aku dapa—”

“ Itu kartu kutukan, Sanjaya!” seruku memotong ucapannya dengan memanggil namanya.

Seruanku itu langsung membuat kami sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Dengan suasana ini aku membiarkannya berpikir terlebih dahulu, meresapi bahwa apa yang ia bawa ini mungkin saja akan membahayakan kami.

“ Maksu—maksud kakak ini dapat memanggil mereka?” tanyanya. Pastinya merujuk ke organisasi itu.

Aku mengangguk cepat. “ Atau mungkin malah  kartu itu akan mencelakai kita” kataku menunjuk yang ia pegang.

“ Padahal kupikir ini kartu populer, memberi sebuah harapan!” gumamnya ketakutan.

“ Kartu—kartu apa? Harapan?!” kataku tambah marah. Aku segera merebut kembali kartu itu. Rasa panas karena bersentuhan dengan kartu itu secara langsung membuatku kaget. Ini kali pertamanya aku merasakan sensasi itu.

Yang omong-omong, membuat kegelisahanku meningkat.

Dengan halus dan tidak ketahuan adikku, segera saja aku menekan titik energi kartu yang ternyata berada di tengahnya. Tidak dapat terhapus namun dapat ku kontrol dengan menekan energinya dengan kemampuanku.

Aku menyengit kesal sekaligus tak berdaya karena apa yang dimiliki kartu ini. Aku tidak tahu energi apa itu, tapi karena memiliki potensi yang dapat menyakiti kami khususnya adikku, aku terpaksa harus menyelidikinya.

“ Sekarang kasih tahu aku. Dimana kamu menemukan ini?”

Adik laki-lakiku yang sudah mengeluarkan air mata menatapku, “ Dari si Pemilik Kelontong Bintang dekat sekolah”.

🌙🧙‍♂️🎇🌙

Friend On The Other Side
[Covered by Anna-Female Ver.]

Kelontong Bintang v.31H [FINISH]Where stories live. Discover now