43. Harapan Orang Tua

50.9K 4.3K 1.3K
                                    

"Iya, Sayang. Boleh."

Acia berhenti mengunyah bakso kemudian menunduk malu-malu. Pipinya gampang panas saat Sagara menyebutnya ‘sayang’ seperti itu. Jarang ia dengar, sekali Sagara memanggilnya demikian, pipinya akan merona secara tiba-tiba. Merah seperti kepiting rebus. Memang ya, jiwa-jiwa melting yang Acia punya tidak pandang situasi dan kondisi.

"Kenapa? Mleyot?" kekeh Sagara yang sangat hafal tingkah laku Acia saat dipanggil dengan embel-embel ‘sayang.’ Malu-malu kucing jadinya.

"Iya. Acia suka mleyot. Gatau kenapa. Kayaknya pipi sama jantung Acia bermasalah, harus diperiksa habis ini. Kak Sagara suka mleyot kayak Acia juga, nggak?" tanya Acia, memberanikan diri menatap mata Sagara.

Sagara menggeleng sembari menampilkan ekspresi polos. "Gue nggak bisa mleyot. Wajah gue kaku kayak ikan habis dikasih es batu," jawabnya.

Acia menanggapi dengan kekehan, lalu kembali fokus pada bakso yang masih banyak. Biasanya, Acia paling antusias dan dalam sekejap menghabiskan satu porsi bakso seperti ini. Tapi sekarang, kecepatan itu perlahan mulai melambat. Perutnya terasa bergelombang di dalam sana. Ia mual.

"Kak Sagara, pegang mangkoknya."

"Kenapa? Lo baik-baik aja?" Sagara meraih mangkok lalu menaruhnya ke brankar.

"Tiba-tiba Acia pusing sama mual."

Sagara cepat-cepat mencari minyak angin untuk Acia hirup, menghilangkan rasa pusing dan mual. Tapi hal itu tak membuahkan hasil. Acia bergerak gelisah dengan kedua mata berkaca-kaca.

"Kita pulang aja ya. Di rumah istirahatnya." Sagara sedikit membungkuk, mengamati wajah Acia yang terlihat makin lesu. Ada baiknya Acia ia bawa pulang, agar Acia lebih leluasa untuk istirahat. Di kamar juga ada boneka kesukaannya, bisa Acia peluk.

"Tapi, Acia mau bikin tugas." Acia meremas jemarinya. Tugas dikumpul untuk mengambil absen sampai jam terakhir nanti.

"Ketua kelas lo siapa?" tanya Sagara.

"Argatama. Arga," lirih Acia.

Sagara membaringkan Acia. Ia usap puncak kepala gadis itu. Sebelum beranjak pulang, Sagara harus mengembalikan mangkok yang ia pinjam kemudian menemui Argatama, ketua kelas Acia. Acia tidak bisa melanjutkan kelas karena tidak sehat.

"Bentar ya. Kita pulang habis ini."

"Iya, Kak Sagara."

Sagara melangkah lebar sembari membawa mangkok yang masih berisi bakso menuju kantin. Setelah selesai dengan itu, ia berlari kecil menuju kelas Acia, menemui Argatama.

"Acia makin pusing," lirih Acia sembari memejamkan mata. Bulir air jatuh begitu saja membasahi sudut matanya, padahal Acia tidak menangis. Air matanya turun tanpa bisa ia cegah. Kondisi tubuhnya berubah. Padahal jam istirahat ia baik-baik saja.

Mendengar pintu di dorong dari luar membuat mata Acia terbuka. Ia pikir Sagara, ternyata bukan. Suara anak perempuan. Acia tidak bisa melihatnya karena terhalang oleh tirai putih di dekatnya. Sepertinya, ada yang sakit juga. Terdengar dari percakapan dua orang itu, menyuruh untuk istirahat.

"Brankar sebelah ada yang isi?"

"Aku boleh ngintip dikit aja?"

Acia memiringkan tubuh. Tangannya bergerak menyingkirkan tirai penghalang. Saat tirai terbuka, seorang anak seumurannya nongol dari sana. Terlihat pucat namun menampilkan senyum lebar padanya. Acia balas meski ia semakin lesu dan lelah.

"Loh, pelipis kamu luka?" Gadis itu mendudukkan diri kemudian turun dari brankar-nya, mendekat pada Acia.

"I-iya, Acia jatoh dari tangga." Acia sedikit gugup menjawab karena jarak dirinya dan gadis itu teramat dekat. Mengamati luka, mata dan pipinya. Acia tahan napas. Tidak terbiasa.

TOUCH YOUR HEART (TERBIT)Where stories live. Discover now