S i x t y O n e

742 77 12
                                    

Sebelum menjalin persahabatan dengan Braden, Michael, dan John—aku sudah menyukai sebuah taruhan dalam hal apapun

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sebelum menjalin persahabatan dengan Braden, Michael, dan John—aku sudah menyukai sebuah taruhan dalam hal apapun. Lalu setelahnya, aku semakin menyukai pertaruhan yang terjadi antara diriku dan mereka bertiga. Seakan mendapatkan lawan yang sepadan.

Aku cukup sering menjadi pihak yang menang, lebih sering lagi menjadi pihak yang kalah. Dan semua itu memberiku pelajaran. Aku belajar menghargai kapasitas diri ketika menang dan aku belajar menerima kekalahan tanpa merendahkan diri.

Sungguh. Setiap pertaruhan kami—entah tentang hal besar maupun hal remeh, telah memberikan pengaruh baik. Terutama di kala aku harus mengambil setiap keputusan dalam kehidupanku.

Hanya saja. Memilih Nancy bukanlah sebuah pertaruhan.

Aku tidak sedang mempertaruhkan apa-apa ketika ingin menikahinya.

Telah kulewati berjuta-juta kali pertaruhan kehidupan sampai akhirnya, aku pun berhasil berada di tempat dan waktu yang seharusnya. Telah tiba saatnya kujalani hari paling spesial. Hari yang takkan kulupakan seumur hidup. 

Matahari bulan Juli di kota London sangat cerah, secerah suasana hatiku bahkan karenanya, aku bisa mengabaikan setiap jejak luka di beberapa titik wajahku selagi melakukan persiapan dalam kamar yang dipersiapkan.

Setelan tuksedoku bukan berwarna hitam, bukan pula berwarna putih gading. Namun perpaduan dari kedua warna tersebut.

Aku baru selesai memakai pantofel ketika ketukan pintu terdengar. Pintu pun terbuka, dan Silvia Hilton melenggang masuk dalam balutan gaun terbaik yang pernah kulihat. Masih berdiri di tempat semula, kuperhatikan dirinya duduk di kursi ottoman. Tepat di hadapanku.

Beberapa menit berlalu, ibu hanya memandangiku. Dari atas kepala sampai bawah kaki. Matanya berlama-lama mengamati wajahku dengan seksama.

"Kau akan selalu menjadi kau," ucapnya dalam nada suara datar.

Memahami ketidaksukaannya pada penampilan wajahku yang agak berantakan, aku tersenyum miring. "Kau yang paling mengenalku."

Dia bergeming sejenak sebelum ikut tersenyum miring dan beranjak berdiri. Diberikannya pertanyaan yang amat bermakna. "Apakah kau tahu banyak orang yang berkata bahwa setiap ibu di dunia ini akan selalu merasa kehilangan anak lelakinya saat dia menikah?"

Tergelitik akan sesuatu, aku balik bertanya, "Itukah yang kau rasakan sekarang?"

Seseorang kembali mengetuk pintu. Berbeda dengan Ibu, Wilson Hilton sempat melongokkan sebagian kepalanya untuk meminta izin masuk. Aku mengangguk singkat, lalu dia ikut bergabung bertepatan saat ibu menjawab pertanyaanku yang tertunda. "Tidak juga. Kau sudah pergi dariku sejak lama, Will."

Aku kembali mengerucutkan fokus pada ibu, mendapati sorot matanya yang berkilau. Terdapat genangan air mata yang menghantam dadaku sementara bisikannya sangat berarti. "Dan kini—aku justru merasa kau telah kembali."

William Hilton - Hot Player [Complete]Where stories live. Discover now