T w e n t y N i n e

30.1K 2.2K 552
                                    

"Rasakan kelelahan sampai kalian tak bisa lagi merasakannya! Nikmati kelelahan sampai kalian tak bisa lagi menikmatinya!" Tua Bangka itu berteriak sangat lantang sehingga aku balik meneriakinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Rasakan kelelahan sampai kalian tak bisa lagi merasakannya! Nikmati kelelahan sampai kalian tak bisa lagi menikmatinya!" Tua Bangka itu berteriak sangat lantang sehingga aku balik meneriakinya. "Brengsek! Itu namanya mati! Kami akan mati kelelahan!"

Dia menertawakanku yang memang sedang sekarat. "Mati kelelahan lebih baik daripada mati di tengah keputusasaan."

Kilasan masa lalu memenuhi keseluruhan diriku ketika aku duduk termangu dalam sebuah kursi di ruang rapat. Tak peduli berulang kali merubah posisi, tubuhku tetap saja tidak nyaman dengan otot-otot kaku dan persendian yang kram.

Terlebih otakku terus berputar tanpa henti, mengakibatkan sistem tubuhku tidak berfungsi dengan baik.

Demi seluruh kenikmatan di dunia ini, aku kesulitan menikmati kehidupanku lagi karena begitu lelah. Seperti dulu, kelelahan itu bergelung dalam diriku sampai rasanya aku ingin menggali lubang kuburan sendiri.

Anehnya. Pengalaman di masa lalu jelas masuk akal.

Kala itu, aku kelelahan karena seluruh tenagaku terkuras habis. Bagaimana tidak, mereka melatih staminaku seolah melatih kuda selama berbulan-bulan. Mengasah kemampuan fisikku layaknya mengasah senjata, tidak mengenal siang atau malam. Aku diterpa banyak sekali terjangan secara fisik yang memengaruhi kondisi mental.

Tapi sekarang—yang benar saja. Bahkan tidak ada kegiatan fisik yang kulakukan.

Aku lebih banyak berjalan kaki daripada berlari, lebih sering berbicara daripada melatih tarikan napas. Aku pun selalu berada di dalam ruangan daripada berjemur di bawah sengatan matahari. Tak jarang duduk berjam-jam sembari memasang senyuman sampai pegal.

Tapi terasa tak jauh berbeda. Aku luar biasa lelah sebab seluruh jiwa dan ragaku tersedot habis oleh proyek Black World.

Aku tidak asing dengan bekerja keras, tentunya. Pernah sekali waktu membangun perusahaan bersama Braden, Michael, dan John. Kala itu pun sama. Aku lelah karena bekerja selama 12 jam, pulang pergi ke banyak tempat hanya untuk mencari relasi dan investor, di sisi lain aku harus tetap berkewajiban dalam perihal pendidikan.

Tapi dalam proyek Black World sekarang—berbeda.

Bukan John yang menjadi otaknya melainkan diriku. Bukan Michael yang menjadi garda terdepan sebagai marketing melainkan diriku. Bukan Braden yang menjadi tumpuannya melainkan diriku. Sekalipun masih ada mereka yang membantu, aku tetap harus bekerja habis-habisan. Melebihi kapasitas yang belum pernah dilakukan.

Jika boleh jujur, aku sedikit menyesal berada di perusahaan Waldorf Astoria di lima tahun ke belakang. Seharusnya, sejak dulu aku mengambil keputusan untuk tidak bekerja dalam ruang lingkup Hilton. Karena mau tidak mau, mesti kuakui bahwa itu zona nyamanku.

Kini, ketika terpaksa keluar darinya, aku benar-benar kewalahan.

Mendesah frustasi, aku bersedekap selagi menatap dokumen-dokumen yang tersebar di meja. Bagai laser, kutatap sangat lekat tulisan Black World yang berada di sampul depan. Andai diriku memiliki sejenis kekuatan super seperti—sekali tatap, maka jadilah. Mungkin itu akan menyenangkan.

William Hilton - Hot Player [Complete]Where stories live. Discover now