empat belas

7.6K 428 13
                                    

Happy🕊️ Reading
















Siang itu, Sila melamun di depan laptopnya. Hubungan Sila dengan ayahnya tak kunjung membaik. Weekend kemarin Sila sempatkan untuk bermalam di rumah ayah berharap bisa merubah keadaan. Namun bukannya mendapat apa yang di harapkan malah Ayah semakin gencar memaki Sila.

Ia tau letak kesalahannya dimana; pertama, Sila membuat malu keluarganya sendiri yang dicibir tidak tau diri karena hubungannya dengan Rio berakhir pernikahan lelaki itu dengan wanita lain.

Kedua, Sila pergi ke Surabaya tanpa menunggu ijin dari ayah.

Ketiga, Sila tidak pernah pulang ke Jakarta semenjak berada di Surabaya.

Tapi Sila melakukan semua itu bukan tanpa alasan. Pertama, Sila tidak tau kalau hubungannya dengan Rio akan berakhir miris. Jika tau dari awal, Sila tidak akan memulai apapun. Lagipula dia tidak cenayang.

Kedua, Sila butuh pelarian. Bukan hanya ayah saja yang terpukul dengan cibiran orang, Sila merasakan lebih dari itu. Bahkan tahun pertamanya disurabaya Ia habiskan untuk mengurung diri dengan beberapa obat-obatan penenang.

Sila cukup down saat itu. Seakan semua orang menghakimi dirinya. Masalahnya, keluarga Mahendra cukup terkenal hingga berita tunangan dan pernikahan Rio di siarkan di beberapa saluran televisi.  Tak heran jika Instagram Sila penuh dengan hujatan hingga Ia terpaksa memprivasi akunnya.

Ketiga, Sila masih tidak sanggup untuk pulang ke Jakarta. Sila takut bertemu Rio, dan Sila takut ayah marah.

Tapi, untuk menjelaskan semua alasan ini pada Ayah sangat susah. Ayah tipe orang yang tidak ingin mendengar, dia hanya ingin di dengar dan di turuti semua perkataannya tak peduli dengan perasaan anaknya yang nyaman atau tidak. Ayah selalu seperti itu.

Sila  terkesiap saat pintu ruangannya di ketuk, "masuk," ujarnya kembali memfokuskan diri pada pekerjaan.

Di ujung pintu, Brandon mengulum senyum, "hai."

Kepala gadis itu terangkat, "Brandon? Tumben kesini? duduk."

Lelaki dengan kemeja abu itu mendudukkan diri di depan meja Sila. Matanya mengernyit saat melihat wajah gadis itu yang lesu, "lo kenapa? Sakit?"

Sila tersenyum tipis, "enggak."

"Lagi ada masalah?"

"Biasalah," Sila mengendikkan bahu.

"Bokap?" Tanya Brandon di balas Sila dengan anggukan.

"Pelan-pelan aja. Suatu saat bokap lo juga bakal ngerti," Brandon berusaha menenangkan, "batu aja kalau terus di tetesin air pasti jadi berlubang."

"Masalahnya, bokap gue lebih keras dari batu," jawab Sila, "bunda aja bisa ngertiin posisi gue."

"Figur ayah pasti lain, Sil. Ga selembut ibu."

"Iyaaaa gue tauuu," mata Sila berkaca-kaca, "gue itu kurang apa sih ke ayah? Dari dulu mau ayah apaa aja gue turutin, ayah mau gue masuk UI lah, ayah mau gue juara kelas, aktif di sekolah dan bla bla bla... Selalu gue iyain. Tapi sekali aja, pernah ga sih ayah tuh mikirin perasaan gue? Mikirin apa yang gue mau?" Gadis itu mulai terisak.

Brandon mengulurkan tangan mengusap lembut  puncak kepala Sila.

"Gue ga pengen di lahirin kok. Andai gue bisa milih bokap, gue pasti ga pilih dia," Emosi Sila tersulut.

"Mulai ngaco kan ngomongnya. Di Sabarin aja, jangan kebawa emosi," ucap Brandon lembut.

Sila mengusap air mata dengan punggung tangannya, "gue capek Brandon. Gue berjuang sendiri ngadepin semua cibiran orang. Bahkan ayah ga ada di samping gue saat gue butuh pendamping saat itu. Gue tau ayah juga kena gunjingan orang gara-gara gue, tapi efeknya tuh ga separah gue yang lakonnya sendiri disini."

You Are My DestinyWhere stories live. Discover now