empat puluh tiga

4.9K 274 10
                                    

Happyreading 🕊️



Musik mengalun lembut menemani perjalanan mereka menuju kediaman ayah Rio. Sila dengan jantungnya yang berdebar berusaha setenang mungkin.

Dari tadi Rio menyadari kalau gadisnya itu terus mengambil nafas panjang dan menghembuskan perlahan.

Satu tangan yang tidak memegang kemudi meraih tangan Sila mengenggamnya erat menyalurkan ketenangan disana.

"Kenapa takut? Hm?" Ujar Rio lembut.

"Bukan takut sih, grogi aja," Sila menatap Rio dengan wajah khawatir tapi menahan senyum, "fist time aku masuk ke keluarga kamu sebagai pacar, biasanya cuma anak supir kan?"

"Aku kurang suka sebutan itu, sih," kata Rio, "bagiku, pekerjaan apapun itu nggak ada yang hina asalkan didapat dengan cara yang baik."

"Iya sih."

"Jangan minder dong, mana Sila yang paling pede? Hm?"

Sila terkekeh singkat, "iyaa.. ini juga lagi berusaha pede," Ia teringat sesuatu, "aku boleh tanya?"

"Boleh."

"Ayah kamu nggak nerima Railey juga?" Tanya Sila hati-hati.

Rio mengangguk, "kan dari awal aku udah bilang, kalau nggak ada yang mau nerima Railey kecuali Keynan. Termasuk ayah dan Kak Zinta juga nggak mau nerima Railey."

Kening Sila mengerut, apa salah gadis kecil itu? "Kenapa?"

"Karena bagi ayah, Railey itu ancaman buat perusahaan aku. Kalau kak Zinta, dia nggak suka sama Railey karena Railey bandel, suka berantem sama Nilo."

"Nilo anak kak Zinta?"

"Iya," jawab Rio, "kamu tau nggak Railey suka ngeledekin Nilo gimana?"

"Gimana?"

"Nilo item kayak Milo," Rio menirukan gaya bicara Railey membuat Sila terkekeh, "padahal Nilo nggak item, emang Railey aja yang jail. Dan Nilo paling nggak suka di bilang kalau dia item."

"Emang mereka berdua pernah ketemu?"

"Sering," Rio memutar kemudi, "kalau Ayah lagi di Jakarta pasti aku sama Railey sempetin ketemu. Walaupun papa jadi ga banyak ngomong karena ada Railey. Nah, disitu Railey suka jahilin Nilo. Padahal usia Nilo setahun di atas Railey, tapi dia lebih cengeng."

"Dimanja mungkin," tebak Sila.

"Nggak juga, emang Nilo cengeng anaknya kayak kak Zinta."

"Terus kamu biarin aja gitu si Railey? Nggak kamu ingetin?"

"Aku ingetin lah sayang," Rio mengusap punggung tangan Sila dengan ibu jarinya, "cuma ya gitu. Railey bandel, susah banget di bilangin."

"Rio."

"Iya?"

"Nanti kalau kamu ke rumah om Hamzi sama Railey, aku ikut boleh?"

Rio terkejut namun tetap mengangguk, "boleh banget."



* * *





Mereka berdua telah sampai di rumah om Hamzi. Rio menggandeng tangan Sila berusaha agar gadis itu tidak gugup.

Sila dapat mengontrol ekspresi wajahnya dengan baik, berbanding terbalik dengan tangannya yang sudah se dingin es.

Ruang tamu di dominasi warna coklat dengan pigura yang tertata rapi di dinding, tak lupa lemari kaca di sudut ruangan yang ikut memberi kesan elegant di ruangan ini.

"Eh, kalian udah dateng," Zinta datang menyapa dengan perutnya yang tengah hamil besar, "hai, Sil. Seneng banget bisa lihat kamu lagi."

Sila tersenyum, membalas pelukan dan cipika-cipiki Zinta.

You Are My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang