empat puluh empat

4.9K 257 11
                                    

Happyreading

Malam yang sangat melelahkan. Sila tidak dapat hasil apapun meski sudah satu jam berdebat dengan ayah.

Ayah tetap bersikeras bahwa Rio seorang duda beranak satu yang sudah menyia-nyiakan Sila dan tidak pantas untuk bersanding dengannya.

Sila sudah menjelaskan semuanya— kecuali Railey yang bukan anak Rio karena cowok itu melarang Sila menjelaskan status asli Railey kepada siapapun.

Ayah sempat terkejut saat mendengar bahwa ibu Rio dan Nyonya besar Mahendra telah meninggal. Lelaki itu sempat terpekur beberapa saat namun kembali lagi dengan egonya yang tinggi.

Sila lelah harus berhadapan dengan ayahnya. Rio juga sudah bolak-balik kesini demi restu Fajar. Namun semakin di harapkan semakin tidak memiliki rasa kasihan sama sekali.

Tidak ada cara lain, Sila memohon di depan ayahnya, menumpahkan semua air matanya yang sejak tadi pagi dibendung, "ayah boleh larang Sila dalam hal apapun, asal jangan pisahin Sila sama Rio lagi."

Fajar membuang muka, enggan menatap putrinya yang hancur berantakan karena seorang lelaki, "Sil. Jadi perempuan itu yang punya harga diri. Kamu sudah di permalukan didepan banyak orang, masih mau kamu sama lelaki kayak begitu?"

Sila menarik poninya, frustasi sendiri, "ayah. Sila udah jelasin berapa kali. Ini bukan salah Rio."

"Yasudah kalau gitu, kamu mau nikah sama dia kan? Nikah saja,"

Terkejut bukan main, netra Sila membulat bahagia.

"Tapi ayah tidak akan datang apalagi memberi kalian restu," sambungnya membuat bahu Sila kembali merosot.

Sial!

"Ini bukan soal ayah yang nggak mau kak Sila disakiti lagi," sahut Raka yang sudah muak melihat ini sejak tadi, "tapi soal ego ayah."

"Kalian berdua cuma bocah, tau apa tentang urusan ayah?" Fajar masuk kedalam kamar.

"Dahlah kak, gue saranin lo kawin lari aja," Raka menepuk pundak Sila, "yang penting sama Rio kan?"

Sila tau ini hanya jokes, tapi gadis itu sedang tidak mood bercanda jadi ia tidak menanggapi ucapan itu.

"Loh, Sila? Kapan dateng?" Bunda baru saja datang dengan dua tas berisi stok makanan mereka, "loh, kenapa nangis lagi?"

"Bunda kok nggak telfon? Katanya kalau udah selesai mau dijemput?" Timpal Raka.

"Tadi nggak sengaja ketemu Brandon, jadi sekalian di anter pulang," Hilya menatap Brandon yang berdiri di daun pintu, "sini masuk dulu, duduk."

Brandon masuk dengan tenang namun fokusnya tertuju pada Sila. Brandon tidak ingin bertanya apapun karena dari wajah gadis itu sudah menjelaskan semuanya. Pasti Sila tengah berselisih pendapat lagi dengan ayahnya soal Rio.

Rasanya Brandon ingin membantu, tapi bagaimana?

"Thanks udah anterin bunda pulang," sapaan Raka menyita perhatian cowok itu, Brandon menjawab dengan senyum kecil dan anggukan.

Tak berselang lama, Raka dan bunda masuk kedalam menyisakan mereka berdua di ruang tamu.

Melihat Sila yang terus murung membuat hati Brandon berdenyut, "apa perlu gue telfonin Rio?"

Sila kontan menoleh, "hm?"

"Cuma dia yang bisa bikin lo senyum lagi, kan?"

Sila menarik bibir, "gue takut nggak ada kesempatan buat hubungan kita. Gue nggak nyangka bakal se rumit ini."

You Are My DestinyWhere stories live. Discover now