Bab 11

24.5K 2.4K 17
                                    

Selamat membaca!! Makasih buat vote dan Komentnya!

Riri mencoba menahan tubuhnya untuk tetap berdiri walaupun kakinya terasa lemas. Dia melangkah keluar dari kafe itu tanpa peduli dengan sapaan beberapa pelayan. Rasa anyir darah terasa akibat dia yang menggigit kuat bibirnya. Menahan tangis yang sudah di ujung mata. Dia masuk ke dalam taksi yang lewat. Tangis yang berusaha ditahannya akhirnya keluar juga. Dia menangis sambil membekap mulutnya. Riri merasa seperti bermimpi, dunianya runtuh begitu saja, kebahagian yang dirasakannya sebelumnya hilang tak bersisa.

Dia tidak tahu harus bagaimana, perih yang mengiris hatinya dan sesak di dadanya tidak berkurang walaupun dia telah menumpahkan air matanya begitu lama. Dia merasa begitu bodoh, bagaimana bisa dia tidak tahu akan hal itu. Tidak mungkin Bayu mencintainya jika ada Cindy di hidup laki-laki itu.

Bayu tidak mencintainya setelah dia memberikan seluruh jiwa raganya pada laki-laki itu. Pantas saja belakangan ini suaminya sering pulang malam, bodohnya dia pikir itu karena Bayu sibuk bekerja. Sekarang dia tidak tahu harus bagaimana. Riri mengusap perutnya berusaha menenangkan dirinya.

Pergi? Tidak mungkin.

Bagaimana dengan nasib bayinya, tidak mungkin dia akan membesarkan bayinya sendirian, hidup tanpa seorang ayah. Menjalani hidup yang buruk sepertinya? Dia tidak bisa melakukan itu.

Sungguh lucu.

Dia tertawa dengan air mata berderai tidak memperdulikan tatapan dari supir taksi. Bagaimana hidupnya bisa selucu ini, dia bahkan tidak bisa pergi karena tidak punya tempat untuk pergi. Keluarga? Dia tidak punya. Teman? Dia bahkan baru saja kehilangannya. Sekarang dia bahkan akan menjadi boneka bodoh yang membiarkan dirinya dipermainkan. Menyedihkan.

*****

Riri menatap jalanan kota Jakarta dengan pandangan kosong. Keramaian yang berada di sekitarnya tidak mampu menghilangkan rasa sepi yang memeluknya. Hatinya yang dia kira hampir mati ternyata masih berdenyut perih ketika mengingat kebodohannya. Denyut perih yang juga lagi-lagi terasa di pergelangan kirinya.

Dia sedang dalam perjalanan ke apartemennya dengan diantarkan oleh Denis, dia bahkan tidak punya tenaga untuk menolak. Wajah pucatnya membuat rekan kantornya tidak tega meninggalkan dia pulang sendiri. Dia benar-benar merusak acara makan malam mereka.

Riri bahkan tidak bisa ikut berbahagia atas kebahagian orang lain, karena kebahagiaan itu semakin membuatnya menyadari apa yang hilang dari dirinya. Mereka terus melangkah maju sedangkan dia hanya diam di tempat.

"Riri, mau ke dokter dulu nggak?" Ucapan Denis menyadarkan Riri dari lamunannya.

Riri menggeleng pelan, "Gue cuman butuh istirahat, sorry bikin Lo repot." Walaupun tubuhnya sangat lemas, dia tidak ingin pergi ke dokter. Sepertinya lembur berhari-hari akhirnya membuat tubuhnya tumbang juga.

"Nggak ada yang merasa direpotkan kok Ri. Kita sudah sekantor lebih dari 3 tahun. Walaupun gue nggak tahu lo gimana. Gue menganggap Lo teman." Ucap Denis menatap Riri.

Terkadang Denis merasa Riri seperti tembok, dia benar-benar membatasi dirinya dari dunia luar. Seperti terkurung dalam sangkar. Mungkin Riri tidak menyadarinya, tapi Denis sering menemukan Riri menatap kosong pada orang sekitarnya.

Riri mengalihkan pandangannya dari Denis yang sedang menatapnya, seakan sedang mencari sesuatu dalam dirinya. Dia tidak bodoh, dia hanya berpura-pura tidak tahu ketika Denis memberikan perhatian padanya.

Bukanya dia sangat pintar berpura-pura?

Dia tidak punya apapun lagi dalam dirinya yang bisa diberikan kepada orang lain. Hanya jiwa yang rusak yang tersisa dalam dirinya. Perhatian dari Denis tidak akan bisa menyentuhnya.

Bekas Luka Where stories live. Discover now