Bab 30

34K 2.6K 56
                                    

Hai Semuanya....Thanks buat Antusiasme nya selama membaca cerita ini.

Ini full flashback yaa!!!

Happy Reading!!!

4 tahun lalu.

Sunyi. Di kamar itu hanya ada Riri yang menatap hampa semua hal disekitarnya. Kamar yang didominasi warna cerah itu sekarang tidak akan pernah bertemu pemiliknya.

Riri datang sendirian ke kamar ini, menapaki tangga perlahan hanya untuk meyakinkan dirinya. Ini pertama kalinya tidak ada seseorang pun disampingnya, Bayu yang biasanya tidak pernah meninggalkan Riri sendirian pun tidak terlihat. Mungkin dia sudah lelah dengan pengabaian Riri. Dia tidak bisa menambal kekosongan di hatinya. Rasanya ada lubang yang menganga di sana. Lebih dari amarah dia merasa hilang asa.

Riri mendekati Box Bayi yang berwarna ungu itu, menyentuh bantal kecil itu perlahan, sebelum meraihnya dan memeluk erat bantal itu. Pelukan ini harusnya Riri berikan pada bayinya. Riri benar-benar ingin kehilangan kewarasannya, menerima kenyataan ini membuatnya tidak mampu bernafas. Dia bahkan tidak bisa menangis, rasanya semua sarafnya mati rasa.

Apa yang harus dia lakukan? Rasanya menakutkan, tolong bangunkan dia dari mimpi buruk ini. Tolong beri tahu Riri bagaimana caranya untuk bangun dari mimpi buruk ini.

Tolong bangunkan aku.

Riri menuju kamar mandi di kamar itu, membasuh wajahnya berkali-kali mencoba menyadarkan dirinya, berharap bahwa ini adalah mimpi, namun dia tidak kunjung terbangun. Matanya tidak sengaja menemukan sebuah Cutter kecil di dalam lemari kecil dalam lemari kecil di dinding kamar mandi. Entah apa yang ada di dalam pikiranya, Dia meraih cutter itu.

Bukankah dia akan terbangun jika merasa sakit?

**

"Berani sekali kamu menghalangi orang tuamu untuk masuk?!"

Bayu memijit pangkal hidungnya, kepalanya ingin pecah. Mendengar ucapan ayahnya membuat semua amarah dalam dirinya meluap.

"KUMOHON JANGAN SEKARANG! Apakah aku meminta terlalu banyak? Hanya saat ini, aku bahkan tidak ingin ayah bersimpati pada kami. Hanya jangan ganggu aku saat ini!"

Urat-urat di leher Bayu muncul ketika melampiaskan emosi yang sudah ditahannya sedari tadi. Jika tidak melihat kemiripan wajah di antara mereka, Bayu pasti akan berpikir bahwa laki-laki ini bukanlah ayahnya. Bagaimana bisa dia meminta Bayu menikahi Cindy untuk ambisinya, sementara Bayu baru saja kehilangan anaknya. Ikatan emosi diantara mereka begitu dangkal.

Sepertinya harga diri ayahnya terusik, "KAMU BERANI?! Anak tidak tahu diri! Kamu melebih-lebihkan sesuatu yang tidak penting!" Makian yang sudah didengarnya beberapa hari ini, Ayahnya tidak peduli dengan kematian cucunya, sepertinya dia melihat ini sebagai peluang untuk kariernya. Miris sekali.

"Pak Dion tutup gerbangnya."Bayu menatap tajam satpam yang telah mengijinkan ayahnya masuk. Dia tahu bahwa pak Dion tidak bersalah namun emosi sedang melingkupinya. Bayu hampir tidak bisa berpikir jernih.

"Aku akan benar-benar menelpon polisi jika ayah terus seperti ini." Ucapnya tajam berbalik masuk ke dalam rumah, tanpa memperdulikan makian dari ayahnya.

Bayu sudah cukup lama meninggalkan Riri sendirian karena gangguan dari ayahnya. Dia sudah mengetahui tujuan ayahnya datang. Bertemu di luar tanpa mengizinkan ayahnya masuk adalah solusi yang dipilihnya. Mengizinkan ayahnya masuk hanya akan memperburuk kondisi Riri, walaupun dia cukup cemas meninggalkan Riri sendirian. Riri kembali mengabaikannya setelah Bayu menolak permintaan Riri untuk bercerai. Permintaan yang tidak akan pernah dia wujudkan.

Bekas Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang