Bab 27

23.9K 2.5K 69
                                    

Hai Semuanya!!!

Thanks Buat Vote dan Komen nya yaa!!!!

Happy Reading!!!

Kamarnya masih sesepi biasannya, Andin tidur di ruang tengah dengan kasur lipat yang sudah biasa digunakannya. Mungkin Andin sudah tertidur sejak beberapa jam yang lalu, kelelahan memaki Cindy tanpa henti. Dilihatnya jam yang sudah menunjukan angka 1 malam, atau mungkin pagi. Namun Riri masih kesulitan untuk memejamkan mata. Botol obat tidur sudah ada digenggamnya sejak tadi, solusi yang selalu dipilihnya ketika matanya sulit sekali terpejam. Dilihatnya kembali botol obat tidur yang sudah kosong itu, yah dia memang kehabisan.

Obat tidur merupakan solusi agar mimpi itu tidak datang, namun sekarang dia masih terjaga karena kehabisan. Ketika mendengar Andin mengatakan dia membaik, Riri tidak mengerti. Jika dia lebih baik kenapa mimpi itu semakin sering datang?

Kesulitan tidur membuatnya memikirkan kembali pertemuannya dengan Cindy. Riri tahu terkadang manusia bisa begitu egois, jika menyangkut kepentingannya sendiri. Ketika mereka tersakiti tidak peduli apa yang telah mereka perbuat, hal pertama yang mereka lakukan adalah mencari seseorang untuk disalahkan.
Ada kalanya mereka lupa bahwa mereka adalah pelaku bukan korban.

Mungkin Cindy tidak tahu betapa banyak harapan yang Riri tempatkan dalam pernikahannya. Ketika pernikahan itu hancur, Riri bukan hanya kehilangan Bayu namun juga masa depan yang dia impikan. Mungkin banyak wanita ingin menjadi wanita independen yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri, tetapi Riri hanya ingin memiliki keluarga tempat dia bisa berlindung. Dia tidak suka sendirian, dia tidak suka menjadi mandiri karena keterpaksaan, dia sudah lelah melakukan itu sejak dulu. Namun sekarang Riri harus berpura-pura menyukai kesunyian ini.

Kesunyian yang melindunginya dengan kokoh dari luka dan juga bahagia.

*****

Langkah kakinya menuju kubikel miliknya tidak nyaman, lirikan beberapa pasang mata berusaha dia acuhkan. Sesampainya di meja kerjanya, Sinta langsung menghampirinya.

Sinta meletakan buket bunga di meja Riri, "Kurir ngantar pagi-pagi banget." Ucapnya melihat tatapan bertanya Riri, "Nama pengirimnya juga disebutkan." Tambahnya pelan ketika melihat Riri membaca note di buket bunga itu. Sudah bukan rahasia lagi bahwa klien mereka dan Riri memiliki hubungan, sebelumnya itu hanya rumor yang beredar, Namun tindakan Bayu Pramesta kemarin telah mengkonfirmasi rumor tersebut.

"Selama ini yang ngirim lo bunga itu pak Bayu?" Tanya Indra mendekati meja Riri.

"Denis, lihat tuh. Lu sih nggak gercep, Riri bisa diserobot mantannya lagi. Akhh.." Ucapan tersebut dihentikan oleh ringisan akibat cubitan Bella di pinggangnya.

"Bisa diam nggak sih?" Tegur Bella pada Indra, sedangkan Indra hanya mengusap-usap bekas cubitan itu.

Riri menghela nafas kasar, "Yang lain juga lihat?"  Tanyanya mendongak menatap Sinta yang berdiri di sebelahnya.

Anggukan kecil Sinta menjawab pertanyaannya. Riri menggeser buket bunga itu lalu bertanya pada Sinta, "Pak Beni sudah datang?" Riri tahu Bayu mengiriminya bunga dengan namanya untuk menghentikan rumor buruk tentang Riri. Namun Bayu pasti kurang memahami manusia. Manusia cenderung tidak peduli pada fakta, mereka lebih suka cerita yang menarik minatnya.

Meskipun Riri benci menjadi topik orang lain, tetapi untuknya itu tidak terlalu mempengaruhi hidupnya. Mereka hanya orang-orang yang sekedar lewat dihidupnya, tidak cukup penting hingga mampu menorehkan luka yang menyakiti, bertambah satu goresan kecil tidak akan mengubah apapun.

"Sudah, tadi ke pantri, katanya mau buat kopi." Jawab Denis menatap Riri. Bukannya Denis tidak berusaha mendekati Riri namun dia juga menyadari bahwa Riri selalu membangun tembok kepada siapapun yang mendekatinya.

Bekas Luka Where stories live. Discover now