Bab 17

23.4K 2.4K 39
                                    

Selamat Membaca. Thanks Buat Vote dan Komennya!!

Kedamaian yang baru dirasakan Riri terganggu ketika pintu apartemennya terbuka.

"Riri Bunga di depan pintu punya lo?" Tanya Andin yang baru masuk dengan santainya membawa buket mawar putih itu.

Riri memelototi Andin, "Kenapa lo bawa masuk?" Dia memang sengaja meninggalkannya di luar karena tahu siapa pengirimnya.

Tidak memperdulikan tatapan Riri, Andin justru mengecek kartu pada bunga itu. "Dari...ex? Mantan maksudnya?" Andin mengerutkan keningnya.

"Gue sengaja nggak bawa masuk!" Riri mengusap wajahnya, kesal dengan perbuatan Andin.

"Beneran mantan? Mantan suami lo? Eh, mantan lo kan cuma dia."

"Hmm." Riri hanya berdehem, malas meladeni Andin.

"Mantan suami lo pelit ya?"

"Maksudnya?"

"Buat apa bunga? Lebih baik tas, sepatu, atau baju. Permintaan maaf itu harus tulus." Ucap Andin ketika duduk disampingnya. "Lebih baik lagi kalau mahal." Lanjut Andin mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum aneh.

"Kalau mahal itu tulus? Buat apa? Gue juga nggak suka!" Memangnya Riri sudah gila menerima semua itu dari Bayu.

Selain laki-laki tampan, Andin memiliki kegilaan akan belanja, tanpa memperdulikan rekening banknya yang menjerit.

"Jelas tulus karena diberikan dengan uang hasil jeri payahnya. Terus kalau Lo nggak suka, kan ada gue."

"Nggak usah aneh-aneh."

Sudah beberapa hari ini Bayu tidak muncul di hadapannya. Namun kiriman buket bunga mulai datang entah pagi, siang atau bahkan malam. Bunga itu tidak hanya diterima Riri di apartemen tapi juga di kantornya. Untungnya nama pengirim selalu di tulis dengan 'ex' , karena itu Sinta selalu menerornya bertanya siapa itu ex. Riri tentu saja menjawab tidak tahu. Dia menyadari bahwa Bella dan Denis sepertinya sudah mencurigai siapa yang mengirim bunga itu. 

Andin meletakan buket itu di meja, 
"Are you happy Ri?" Dia menatap Riri yang meski mengatakan tidak menyukai buket itu, matanya tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari buket itu.

Riri menoleh pada Andin, Memiringkan kepalanya untuk berpikir.

Bahagia? Apa itu penting? 
Bukanya tidak merasa sakit saja sudah cukup?

Tidak banyak yang diinginkannya, tidak perlu hidup bahagia seperti orang lain. Hanya tidak perlu menderita saja. Tidak perlu menangis tanpa alasan. Tidak perlu bermimpi buruk tapi tidak ingin bangun dari mimpi itu.

Karena dia terkadang bingung apakah itu mimpi buruk atau tidak. Di dalam mimpi itu dia bersama dengan dengan orang-orang yang dicintainya tersenyum bahagia. Namun penderitaan yang dia rasakan ketika menyadari bahwa itu hanyalah mimpi, membuatnya tidak ingin bermimpi lagi.

Andin yang melihat Riri tidak menjawabnya dan hanya terdiam, sudah mengerti, toh temanya ini selalu seperti ini.

"Kamu bilang Bayu tidak mencintaimu, tapi tidak ada laki-laki yang mau berjuang untuk wanita yang selalu menolaknya jika dia tidak mencintainya Ri."

"Lalu aku harus bagaimana?"

"Bukankah selalu ada opsi untuk kembali? Kamu juga masih mencintainya kan?"

Riri menggeleng, "Opsi Itu menakutkan. Kamu tahu bahwa aku sangat terluka saat itu. Tapi kamu tahu kenapa luka itu ada?" Tanyanya sembari tersenyum. Ternyata tidak sesulit itu tersenyum ketika mengutarakan beban yang mengganjal di hatinya. Bukankah katanya kita harus berpura-pura bahagia hingga kita akhirnya lupa bahwa itu hanya pura-pura.

Bekas Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang