16. Inilah kenyataannya

9.7K 675 5
                                    

Happy reading

•••


Disebuah ruangan yang sudah terbengkalai, atau biasa disebut gudang. Seorang anak remaja tengah menendang dinding dengan sekuat tenaga, guna melampiaskan amarahnya. Deru nafasnya terdengar tidak beraturan, matanya juga memerah karena amarah.

Baju seragam nya yang telah kusut dibuang asal, menyisakan kaus hitam yang membalut tubuhnya. Anak remaja itu adalah Cakra. Beberapa waktu lalu, Cakra dipanggil ke ruang bimbingan konseling dan diberi peringatan karena telah memukul adik kelas. Adalah karena Cakra anak dari kepala sekolah, itu sebabnya ia tidak dihukum, dan hanya diberi peringatan saja!

Ini terjadi bukan hanya satu atau dua kali saja, dan Cakra tidak pernah kapok untuk berhenti mencari masalah. Korbannya tidak hanya Vano, tetapi ada beberapa siswa lain yang menjadi korban bullying. Cakra merasakan kepuasan tertentu saat melihat korbannya ketakutan dan tidak berdaya saat berada didekatnya.

Cakra berhenti menendang dan mendengus dingin, pikirannya tertuju pada kejadian tadi siang di kantin. Ia masih dendam kepada Vano karena anak itu telah berani mempermalukannya!

Ini adalah pertama kalinya korbannya melawan, dan Cakra tidak menyukai perlawanan itu. Entah bagaimana tapi hatinya merasakan ketidaksenangan.

"Cakra, kau ada didalam?"

Cakra mengalihkan pandangannya ke pintu yang diketuk. Menarik nafas pendek, ia berjalan menuju pintu dan membukanya.

Saat pintu terbuka matanya langsung bersitubruk dengan Kelvin yang memandangnya datar. Disampingnya Dirga berdiri dengan kedua tangan yang berada di dalam kantong celananya.

Butuh beberapa detik agar Cakra bereaksi. Ia menarik sudut bibirnya dengan paksa lalu menyuruh mereka berdua masuk.

"Kali ini dihukum apa lagi?"

Saat mereka duduk di kursi yang tersedia di gudang itu, Dirga mengajukan pertanyaan yang membuat Cakra memandangnya tajam.

"Haha.. Hampir lupa, kau kan anak kepala sekolah. Pasti kau bebas hukuman, kan? Huh, betapa menyenangkannya itu bagimu!" Dirga berkata dengan sedikit bercanda.

Cakra tidak memperdulikan omong kosong Dirga, ia beralih menatap Kelvin yang sedari tadi diam. "Apakah kau marah karena aku memukul adikmu?"

Kelvin mendongak dengan cepat, "Tentu saja, tidak! Dengar, selama itu di area sekolah kalian bebas menggertak nya. Asal kalian tidak meninggalkan jejak yang bisa dilihat oleh ayahku!" Kelvin berhenti untuk menatap mereka berdua, ia melanjutkan: "Lakukan saja semau kalian, aku tidak perduli.."

Cakra mengangguk puas. Ia meletakkan tangannya ke pundak Kelvin dan menepuk pundaknya beberapa kali. "Ini baru temanku, Kelvin!"

Dirga memutar bola matanya malas, "Kenapa kau hanya berani menggertak adikmu di area sekolah? Tidakkah kau takut guru atau bahkan siswa di sekolah ini melaporkan kepada ayahmu? Ck.ck."

"Aku sudah pernah bilang sebelumnya, kalian tidak perlu tahu alasannya. Cukup lakukanlah sesuka hati kalian." Kelvin melanjutkan di dalam hati: "Karena jika itu di area sekolah, Ayah tidak akan pernah curiga. Karena bagaimanapun Ayah telah mempercayakan anak sial itu, sepenuhnya kepadaku."

Sejenak ruangan itu hening selama beberapa detik, mereka bertiga tenggelam ke dalam pikiran masing-masing.

"Tapi Vano terlihat seperti orang yang berbeda dari sebelumnya. Apakah kalian menyadarinya?" Dirga bertanya untuk memecah kesunyian.

REVANO || Transmigrasi Where stories live. Discover now