54. Kelvin Alldarick

2.5K 261 24
                                    

Happy reading

Vano menghela nafas lelah sembari memegang perutnya yang kesakitan karena berlari tanpa menunggu pencernaan setelah makan, padahal ia baru makan beberapa suapan. Meskipun demikian, tekadnya untuk bertemu dengan Kelvin, kakak keempatnya, dan untuk mendapatkan penjelasan membuatnya tetap melangkah ke arah Kelvin berjalan sebelumnya. Sakit di perutnya semakin terasa, tapi dia menolak untuk menyerah. Saat melewati toilet khusus laki-laki, langkah Vano melambat, dan dengan ragu, matanya memandang pintu toilet itu seolah memberitahunya jika orang yang ia cari berada di dalam toilet tersebut.

Vano berjalan ke toilet tersebut dengan langkah gontai. Sesampainya disana, Vano menghela nafas lega saat melihat Kelvin sedang mencuci tangannya di salah satu wastafel yang ada disana. Sebelum ia melangkah ia menutup pintu toilet agar tidak ada yang melihat mereka.

"Kak." ujar Vano dengan nada lemah. Ia menghentikan langkahnya tidak jauh dari tempat Kelvin berdiri.

Kelvin berhenti melakukan aktivitasnya dan melirik Vano dengan dingin. "Bukankah sudah aku peringatkan untuk tidak bicara kepada ku di sekolah ini?"

"Tolong beri Vano waktu sebentar kak, Please."

Melihat Vano yang memohon seperti itu, Kelvin menghela nafasnya kasar. "Apa yang pengen kamu dengar, hah!" seru Kelvin dengan wajah yang terlihat gusar.

"Kenapa kak Kelvin bisa berakhir menjadi pelayan, kak Zean? Apakah kak Kelvin ditindas!" Vano melanjutkan dengan nada berbisik. "Ini bukan kak Kelvin yang Vano kenal."

Seingat Vano, Kelvin paling anti disuruh-suruh. Malah, justru kakak keempatnya itu yang suka menyuruh orang lain. Pasti ada alasan kenapa kakaknya itu mau menjadi pelayan yang disuruh-suruh.

"Bukankah ini yang kau, mau?" Kelvin berbalik menatapnya. "Kau sendiri yang mengatakan agar aku tidak membully orang lagi. Sekarang aku tidak melakukannya, apakah kamu belum puas? Hah."

Vano menatap Kelvin dengan tidak percaya. Ia menggeleng dengan dramatis. "Aku melarang kakak membully bukan berarti aku menginginkan kakak jadi korban. Kak Kelvin pasti salah paham."

Ia menarik pergelangan tangan Kelvin, dan memandang gelang merah yang menghiasi tangan besar Kelvin. "Dan gelang itu.. kenapa kakak memilikinya? Itu gelang beasiswa kan?"

Kelvin menghempaskan tangannya dengan kasar. "Itu bukan urusanmu!"

"Aku juga berhak tahu kak. Aku adik kakak!" Vano juga ikut berteriak dan itu mengejutkan Kelvin. Seolah menyadari kelancangannya, Vano membekap mulutnya sendiri.

"Sejak kapan aku mengakui mu adik? Heh."

Vano menatap kakaknya itu jengah. Ia sudah lelah menghadapi sifat keras kepala Kelvin.

"Oke! Kalo kakak tidak mau menjawab, aku akan mencari tahu sendiri," putus Vano. Ia pergi meninggalkan Kelvin dengan wajah kesal yang tidak bisa ia sembunyikan.

Setelah kepergian Vano. Kelvin mengepalkan kedua tangannya sekuat tenaga, sehingga urat-urat di tangannya terlihat.

"Ahk!" Kelvin menendang dinding toilet untuk melampiaskan amarahnya.

"Sejak kapan aku mengakui mu adik? Heh."

Kata-kata itu terus terngiang di benaknya.

"Bodoh. Kenapa aku harus mengucapkan kata keramat itu, sial!" Kelvin mengacak rambutnya karena merasa kesal dengan dirinya sendiri.

REVANO || Transmigrasi Where stories live. Discover now