45. Siapa sangka?

3K 288 3
                                    

Happy reading

•••

Vano membulatkan matanya karena tidak percaya pada yang baru saja dilihatnya. Ia merasa takjub sekaligus tidak menyangka, "I-ini...!" Ia bahkan tidak bisa melanjutkan ucapannya.

Bagaimana tidak. Saat Vano terbangun di pagi hari tadi, ia dikejutkan dengan sekotak kado berukuran jumbo yang berada tepat di sebelah kasurnya. Kado tersebut dibungkus rapi dengan pita merah diatasnya.

Awalnya Vano bingung kado tersebut dari siapa dan mengapa orang itu memberinya kado, pasalnya hari ini bukanlah ulang tahunnya. Tapi setelah melihat dan membaca surat yang tergantung di atas pita, kebingungannya langsung terjawab.

Itu dari--Devon.

Kado tersebut adalah chest freezer mini berwarna hitam, yang di dalamnya dipenuhi beraneka ragam ice cream yang sudah membeku.
Di dalam surat itu, tertulis permintaan maaf Devon karena sudah mengingkari janjinya kepada Vano. Kakak ketiganya itu merasa sangat bersalah dan sebagai gantinya ia membelikan Vano chest freezer beserta isi-isinya.

"Bukankah ini terlalu berlebihan?"

Vano bergumam pelan. Tetapi tidak menutup kemungkinan jika ia juga merasa senang di dalam hatinya.

Vano menarik senyum simpul. "Aku baru tahu jika kak Devon se-so sweet ini."

Vano mengambil satu ice cream rasa favoritnya, dan memakannya dengan mulut penuh. "Bahkan kak Devon juga tahu ice cream kesukaan-ku..."

"Apakah ini tandanya kak Devon sudah luluh?" terka-nya di dalam hati.

Di sisi lain, Devon yang sedari tadi mengawasi Vano dari arah pintu kamar tersenyum lega saat melihat adiknya itu memakan ice cream di tangannya dengan lahap.

"Syukurlah jika dia menyukainya."

Setelah lama berdiri disana Devon memutuskan untuk kembali ke kamarnya sendiri. Ia harus menyelesaikan revisinya dengan segera jika ingin lulus cepat.

***

"Van."

"Hm?" Vano hanya bergumam menanggapi sapaan Bryan. Sekarang adalah jam istirahat, dan saat ini Vano tengah menyalin materi pelajaran dari white board yang ditulis oleh guru pada jam pertama.

"Aku mau nanya deh!"

"Tanya aja," jawabnya sembari tetap menulis.

"Tapi kamu kan lagi nulis. Nanti saja deh..!"

Vano mendengus kesal. Ia menghentikan tulisannya dan menatap Bryan dengan sabar. "Sekarang sudah tidak lagi. Mau nanya apa?"

"Em-- itu."

Melihat kegugupan dari Bryan, Vano merasa ada yang tidak beres. "Kenapa?"

"Tapi jangan marah, ya?"

"Kenapa sih, Iyan?" Vano mendesak Bryan agar segera bercerita. Jujur saja, Vano sangat tidak sabaran orangnya!

"Kamu suka ya, sama... Yona?" Bryan merendahkan nada bicaranya saat menyebut nama Yona.

Mendengar pertanyaan itu, Vano tidak bisa menahan tawanya. "Aku memang menyukainya.. Dia baik! Dia layak di jadikan teman."

"Bukan seperti itu. Maksudnya, suka dalam arti lain.." Bryan melanjutkan karena melihat kebingungan Vano, "Apakah kau mencintainya?"

Cinta?

Vano tertegun saat mendengar kalimat terakhir Bryan. Selama ini Vano tidak pernah dan tidak tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang selain keluarganya.

REVANO || Transmigrasi Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt