40. Terlalu mengejutkan

4K 419 35
                                    

Happy reading

•••

Vano yang saat itu baru saja berumur sepuluh tahun terlihat berlari sambil mengeluarkan air matanya dengan perasaan tak karuan. Saat ia mendengar kabar jika paman Endru-nya kecelakaan, ia segera mendesak Herson untuk membawanya ke rumah sakit tempat Endru dilarikan, meninggalkan acara ulang tahunnya yang masih setengah jalan.

Dengan nafas ngos-ngosan, Vano diikuti oleh Herson dan yang lainnya segera berhenti saat sudah sampai di ruangan Unit Gawat Darurat, dimana Endru sudah ditangani oleh dokter umum.

Herson memeluk Vano untuk menenangkan anak bungsunya itu. Meskipun tadi ia sempat merasa cemburu kepada Endru, tapi sekarang pikiran itu hilang entah kemana, digantikan oleh harapan agar Endru baik-baik saja. Ia takut jika terjadi apa-apa kepada pengasuh anaknya itu, hal itu pasti berdampak pada putranya, Vano.

Saat semua pikiran mereka bercabang kemana-mana, seorang suster dengan menggunakan masker medis membuka pintu. Hal itu membuat semua yang menunggu langsung menghampiri suster tersebut.

"Apakah disini ada yang bernama Vano?"

Vano yang mendengar namanya disebut langsung mengangkat tangan. "Sa-saya suster," sahutnya sesenggukan karena habis menangis.

Suster tersebut tersenyum tipis dibalik maskernya. "Kalau begitu kamu bisa masuk." Ia mempersilahkan agar Vano mengikuti langkahnya.

Vano memandang Herson untuk meminta jawaban, melihat itu Herson hanya mengangguk tanda ia mengijinkan putranya masuk ke dalam. Ia sudah berasumsi di dalam hatinya tetapi Herson tidak yakin.

Karena sudah diijinkan Vano mengikuti suster tersebut dengan langkah kecil.

Saat memasuki ruangan UGD ia melihat Endru terbaring dengan beberapa peralatan medis yang menghiasi tubuh laki-laki itu. Tanpa sadar Vano meneteskan air matanya karena merasa sesak melihat betapa banyaknya alat yang tidak ia ketahui namanya itu.

Paman Endru, itu pasti sakit sekali kan?

Vano berdiri tepat di samping tempat tidur pasien. Dokter dan suster yang ada di dalam ruangan saling berpandangan dan seperti telepati, mereka mengangguk setelah itu berjalan keluar meninggalkan dua laki-laki berbeda usia itu di dalam ruangan.

"Paman..."

Endru menatap Vano dengan mata merahnya. Ia berusaha tersenyum tetapi ia merasa bersalah saat menyadari jika senyum yang ia tunjukkan sangat kaku.

"Paman, maafin Vano ya. Pasti paman seperti ini karena Vano kan? Vano yang memaksa paman Bagas untuk menelpon Paman agar segera datang." Vano berkata dengan nada bersalah yang kental. Memang benar, disaat-saat acara potong kue tadi, Vano sempat membisikkan sesuatu kepada Bagas untuk menelpon Endru sampai Endru mengangkat.

Endru ingin menggeleng, tetapi tidak bisa. Sebagai gantinya ia menatap mata Vano dalam. "Ti-tidak. I-itu sama sekali bukan salah tuan muda."

"Maaf," ujar Endru lemah.

Vano menggeleng. "Paman tidak perlu meminta maaf. Vano yang salah."

"Vano ...."

"Iya paman?" Vano merasa senang karena Endru memanggilnya tanpa adanya embel-embel tuan muda lagi. Sebelumnya Vano memang sudah melarang Endru memanggilnya tuan muda, tapi Endru tetap kekeuh.

Tangan besar Endru berusaha meraih tangan Vano. Menyadari itu, Vano memberikan akses agar Endru bisa menggapai tangannya.

Melihat itu Endru mengangkat sudut bibirnya karena terharu. "A-aku sudah membeli kado untukmu, tapi kadonya sepertinya hilang."

REVANO || Transmigrasi Where stories live. Discover now