📷 chapter t w e n t y s e v e n

1.3K 186 21
                                    

Kehadiran Bi Ajeng yang tanpa diduga sangat tertarik untuk bercakap-cakap dengan Alsa sejatinya membuat gadis itu bersyukur--sebab Radya jadi tak punya kesempatan melanjutkan pembahasan sebelumnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kehadiran Bi Ajeng yang tanpa diduga sangat tertarik untuk bercakap-cakap dengan Alsa sejatinya membuat gadis itu bersyukur--sebab Radya jadi tak punya kesempatan melanjutkan pembahasan sebelumnya. Ingin memotong, tetapi Radya tak tega juga. Bi Ajeng tampak begitu antusias karena akhirnya ia punya teman bicara sesama perempuan di rumah itu. Alhasil, ia pun mengalah, dan lama-kelamaan dirinya perlahan-lahan memejam hingga betulan terlelap akibat efek samping dari obat yang dikonsumsinya--sebelum Alsa datang--mulai bekerja.

Alsa dan Bi Ajeng yang melihat itu tentu saja memilih untuk pergi dari kamar agar Radya dapat beristirahat dengan tenang. Bi Ajeng pun kembali membawa nampan dengan camilan dan minuman yang tersisa sampai ke ruang tamu di lantai bawah, melanjutkan obrolan dengan Alsa yang sempat terhenti di sana.

"Sebenernya Bibi panik banget Non, waktu Den Radya dianterin pulang sama temennya dalam keadaan udah lemes kayak gitu," ujar Bi Ajeng usai menarik napas pelan seraya menaruh gelas serta toples camilan di atas meja.

"Bi, panggil Alsa aja," Alsa kembali memperingatkan, entah sudah yang ke berapa kali.

"Aduh, iya maaf, lupa terus Bibi."

Alsa tersenyum maklum, lantas melanjutkan pembicaraan, "Bang Radya apa orangnya gampang sakit, Bi?"

"Nggak, Alsa. Cuma memang nggak bisa kena hujan saja. Tapi, kadang sekalinya sakit bisa lama. Untungnya sekarang nggak begitu parah, dua atau tiga hari lagi juga pasti sudah pulih benar."

"Oh, gitu ya, Bi .... Aku baru tau kalau Bang Radya nggak bisa kena hujan. Tau gitu, waktu itu aku nggak ngajakin langsung pulang. Tapi, dianya sendiri nggak ada bilang apa-apa, ya aku mana tau jadinya."

"Yah, memang begitu anaknya, Alsa. Bagi dia, orang lain yang utama, jadi sudah jelas di situasi seperti itu dia nggak akan nunjukin kelemahannya." Bi Ajeng menghela napas sejenak, lalu senyum masamnya mengembang. "Alsa juga tau kalau Den Radya jadiin hobinya sebagai pekerjaan, 'kan? Padahal, tanpa perlu kerja pun, isi rekeningnya nggak akan pernah kosong."

Memang benar-benar orang kaya gabut, pikir Alsa seraya berdecak takjub.

"Tapi," lanjut Bi Ajeng, "sebetulnya hasil yang Den Radya dapatkan dari itu semua bukan untuk dirinya sendiri, Alsa."

"... jadi, untuk siapa, Bi?"

"Untuk Non Risha, kembarannya. Dan, nggak jarang juga untuk mamanya sendiri."

Alsa kontan saja tertegun mendengar hal tersebut.

Kilatan pedih kemudian muncul di kedua mata Bi Ajeng. "Nasib mereka setelah punya keluarga baru ternyata nggak berjalan mulus dan banyak lika-likunya. Hidup mereka berubah total. Den Radya yang tau itu sudah jelas nggak tinggal diam. Bibi yang dengernya aja ikut sedih, Alsa, karena bisa dibilang Bibi udah jadi saksi hidup keluarga ini sejak Den Radya sama Non Risha lahir, sejak hidup mereka cuma penuh sama yang namanya kebahagiaan.

Through the Lens [END]Where stories live. Discover now