📷 chapter t h i r t y t h r e e

1.1K 162 19
                                    

"Neng, saha eta teh? Kabogohna, nya?" Bu Tini, tetangga sebelah rumah Alsa yang kebetulan tengah menyirami jalanan menggunakan selang segera melontarkan tanya dengan tatap penuh rasa keingintahuan, ketika gadis itu baru turun dari mobil usai Radya...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Neng, saha eta teh? Kabogohna, nya?" Bu Tini, tetangga sebelah rumah Alsa yang kebetulan tengah menyirami jalanan menggunakan selang segera melontarkan tanya dengan tatap penuh rasa keingintahuan, ketika gadis itu baru turun dari mobil usai Radya parkirkan persis di depan rumahnya. Wanita paruh baya itu memang berasal dari Bandung, dan karena kebetulan Papa merupakan asli sana pula, Alsa jadi sedikit mengerti dengan bahasa yang digunakannya.

Sejenak Alsa melemparkan pandang pada Radya. Laki-laki itu tampak bingung, yang berarti ia tidak tahu arti dari kalimat yang Bu Tini ucapkan. "Iya, Bu," jawab Alsa dengan lengkungan yang tertarik malu-malu.

Bu Tini lekas menyunggingkan senyum penuh makna. "Eleuh, tos gede ayeuna mah nya, tos apal bobogohan." Kedua matanya lalu terarah pada Radya. "Meuni kasep si aa-na ge. Jangkung pisan deui." Lalu tersadar bahwa orang yang mengantar Alsa itu tidak mengerti bahasa Sunda, Bu Tini segera mengubahnya ketika bertanya, "Siapa namanya?"

"Oh," Radya mengangguk sopan sembari menarik kedua sudut bibir sewajarnya, "Radya, Bu."

"Nah, A Radya suka kue, nggak? Tuh, di rumah Ibu ada banyak kue. Sok aja ambil, da nggak akan dijual lagi sama Ibu."

Lagi, kerutan tampak di dahi Radya yang menandakan ia kembali diserang kebingungan sebab mendadak ditawari makanan seperti itu. Oleh karenanya Alsa pun segera memberi bantuan dengan membalas, "Banyak sisanya emang, Bu?"

"Lumayan, Neng. Sepi pisan hari ini," jawab Bu Tini lesu. "Bolu kukusnya si mamah ge sisa banyak, udah diambil tadi. Kalau mau kue yang lain ambil aja langsung ke rumah, Neng."

"Em, iya siap, Bu, makasih banyak. Nanti deh aku ke rumah Ibu. Kalau gitu aku masuk dulu ya, Bu," pamit Alsa seraya menarik Radya usai laki-laki itu kembali mengangguk sopan. Mereka pun kini telah memasuki pekarangan rumah sang gadis.

Selagi menunggu Alsa mencari kunci rumah dalam tote bag, satu pertanyaan Radya loloskan, "Maksudnya, ibu yang tadi jualan kue terus sisanya boleh diambil tanpa bayar?"

Alsa mengangguk kecil. "Bu Tini emang baiknya kebangetan. Tapi mungkin juga belio masih ngerasa perlu berterima kasih sama gue."

"Karena?"

"Waktu itu gue pernah bawa dua produknya buat danusan inaugurasi, dan ternyata dua itu yang paling laku keras sampe banyak yang mesen."

"Kenapa lo yang bawa? Seinget gue lo bukan divisi danus."

"Ya gue cuma ikut bantu aja, Bang, biar produk yang dijual bisa lebih bervariasi." Selagi membuka pintu usai menemukan kunci, Alsa menoleh sebentar pada Radya yang berdiri di belakangnya. "Omong-omong, lo suka kue jajanan pasar? Kalau mau, nanti gue ambil ke sebelah."

"Boleh aja," sahut Radya, "seperti kata lo tadi, gue kan kelaperan selama di jalan, sampe-sampe disuruh makan di rumah lo."

Alsa meringis pelan, sadar bahwa Radya sengaja menyindirnya. "Maaf, Bang ... habisnya gue nggak kepikiran alasan lain," balasnya sambil melepas sepatu dan kaus kaki setelah pintu utama terbuka. "Tapi bagus juga, 'kan? Jadinya lo nggak bakal kelaperan lagi di perjalanan pulang."

Through the Lens [END]Where stories live. Discover now