📷 chapter t h i r t y o n e

1.1K 165 21
                                    

Berada di kelas kini rasanya menjadi tak nyaman sebab aroma permusuhan yang tercium begitu kuat dari kubu beranggotakan Yuri dan kawan-kawannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berada di kelas kini rasanya menjadi tak nyaman sebab aroma permusuhan yang tercium begitu kuat dari kubu beranggotakan Yuri dan kawan-kawannya. Alsa masih cukup beruntung mereka tidak sampai mengganggunya secara langsung. Kalau benar akan terjadi, kuliah pasti akan menjadi kegiatan yang paling ingin ia hindari. Namun, sejatinya Alsa pun masih tak mengerti mengapa mereka tampak begitu tidak suka dengan hubungannya dan Radya.

Apakah murni hanya karena cemburu? Karena Alsa yang sempat berbohong pada mereka? Karena keduanya? Atau mungkin ... hal lain yang Alsa tidak ketahui?

Yah, apa pun itu, sepertinya Alsa tak perlu jauh memikirkannya untuk saat ini.

Mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan akhirnya usai, dan tidak ada kelas lagi setelah ini. Itu artinya, Alsa akan segera bertemu dengan Radya, sementara ia belum memutuskan dengan benar apakah ia akan mengatakan apa yang telah bersarang dalam kepalanya sejak tadi atau lebih memilih diam. Sesuatu yang ingin Alsa lakukan dari lama, tetapi terus ia tahan hingga membuatnya berpikir ulang apakah tindakannya sudah benar atau malah sebaliknya.

Namun, kali ini Alsa mencoba untuk yakin saja dengan dirinya sendiri. Maka dari itu, selepas membereskan barang-barangnya, Alsa gegas beranjak meninggalkan ruangan usai berpamitan singkat dengan Kania. Jeremy pun sempat kebingungan dan bertanya, tetapi Alsa hanya berkata kalau Kania akan memberi tahu jawabannya.

Berhubung Alsa sudah terlambat sepuluh menit dan tak ada tanda-tanda Radya menghubunginya, gadis itu pun mengirimkan pesan padanya. Tapi hingga Alsa sampai di lobi dari lantai empat menggunakan lift, Radya belum juga membalas. Dibaca pun tidak. Berhenti sejenak di depan gedung fakultas, Alsa akhirnya menelepon laki-laki itu.

Percobaan pertama, tak dijawab. Percobaan kedua, hasilnya sama. Barulah pada percobaan ketiga, panggilan tersambung meski harus menunggu selama beberapa detik.

"Hm," Radya bergumam pelan. Suara beratnya terdengar sedikit serak. "Sori, gue ketiduran. Lo udah beres kelas?"

Alsa tergeming sesaat, merasa sedikit tersentuh. Ternyata laki-laki itu benar-benar menunggunya, bahkan sampai tertidur pula. "Baru beres," jawab Alsa. "Lo ketiduran di mana, Bang?"

"Di sekret hima. Tunggu, gue ke bawah--ah!" Samar-samar Alsa menangkap suara benturan dari seberang sana.

"Eh, lo kenapa?" Alsa buru-buru bertanya, sedikit cemas.

"... nggak, nggak papa. Kepala gue kepentok lemari."

"Astaga ...." Diam-diam, gadis itu membuang napas lega sementara tawa tertahan di tenggorokannya. "Nyawa lo belum kekumpul itu, Bang."

Dengkusan pelan terdengar, lalu, "Iya kali. Gue cuci muka dulu kalau gitu, baru ke bawah."

"Oke. Gue nunggu di depan fakultas lo aja, sekalian lewat."

"Hm. Bentar, ya." Sebelum Alsa sempat merespons, Radya sudah mematikan sambungan terlebih dahulu.

Sejatinya Alsa memang tak berniat membalas. Lebih tepatnya, tidak bisa. Kini jantungnya malah berdebar. Bagaimana bisa cara bicara Radya terdengar lebih lembut dari biasanya ketika ia baru bangun tidur? Benar-benar sesuatu yang langka bagi gadis itu. Dan sebelum imajinasinya berkembang liar, Alsa buru-buru mengeyahkan pikiran tersebut dan lekas mengambil langkah menuju Fakultas Ekonomi yang--untungnya--tak berjarak begitu jauh dari FIKOM.

Through the Lens [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang