2. Victim

18 6 2
                                    


Tolong, semesta, jangan menyudutkan usaha pembuktianku ini
.
.
.

Berkali-kali Salva mematut dirinya didepan cermin, memastikan matanya yang sembab tidak begitu terlihat dengan kacamata yang menggantung diatas hidungnya.

Rasanya Salva tidak ingin pergi ke sekolah hari ini jika tidak ingat ini adalah hari terakhir sebelum libur semester untuk memasuki ajaran baru sebagai kelas 12.

Sejak kemarin Salva tidak berniat melakukan apapun, dia hanya menangis seorang diri. Merutuki kesakitan yang masih terasa jelas sedari kemarin.

Bagaimana bisa Angga meminta putus hanya karena alasan yang tidak masuk akal? Memangnya Salva harus bagaimana lagi untuk hubungan mereka yang lebih normal? Salva pikir menjalin hubungan dengan Angga di masa putih abu-abu mampu mengalihkannya dari beban yang ada di kepala, mampu sedikit mengurangi ambisinya yang terus menggebu.

Walaupun tidak bisa dipungkiri perasaannya masih terpaut pada cowok tersebut. Bagaimana semesta menjadi saksi mereka melewati hari-hari bersama, segala kenangan dan angan indah yang pernah mereka ukir berdua.
Tidak secepat itu bisa hilang dari dalam kepala setelah beberapa waktu terjalin dan menjadi kebiasaan. Keputusan ini terlalu cepat untuk Salva.

Salva berjalan menuruni tangga setelah selesai dengan urusannya. Di meja makan sudah ada Mama dan Papanya. Dan seperti biasa Salva mengambil duduk didepan mereka yang sama sekali tidak melihatnya. Salva menghela napas.

"Ma, Pa, kemarin kenaikan kelas aku-" ucapan Salva terpotong oleh Mamanya.

"Dapet peringkat 1 kan?"

Salva mengangguk. "Iya." Lantas menyerahkan map pada Mamanya. Sang Mama mengambilnya cepat dan membukanya kasar.

Salva mengambil roti dan mengolesinya dengan selai cokelat, lalu menggigitnya perlahan. Pandangannya beralih pada Papa yang duduk disebelah Mama.

"Bagus, Mama udah duga kamu bakal dapet juara 1 lagi," ucap sang Mama sembari tersenyum bangga melihat rapor Salva.

Salva menarik sebelah sudut bibirnya, berusaha menguatkan hati.

"Tapi ini kenapa di peringkat 2 juara paralel?"

Salva sudah menunggu pertanyaan ini terlontar dari Mama. Dia mendongak menatap Mama yang menyorotnya tajam.

"Iya, Ma." Salva mengangguk pelan sembari meremas rok seragamnya.

"Kok bisa sih sampai peringat 2? Harusnya 1. Kamu ini gimana sih?" Suara Mama mulai meninggi diiringi tatapan tajam yang siap menguliti tubuh Salva.

Sekuat tenaga Salva menahan air matanya agar tidak jatuh. Setidaknya jangan dihadapan Mamanya.

"A-aku nggak tahu, Ma. Tapi aku masih peringat 1 di kelas, kan?"

"Ngeles aja terus! Sebenarnya kamu itu belajar nggak, sih?! Mama udah kasih kamu uang harusnya kamu inisiatif buat privat dong, gimana caranya biar bisa pinter!"

Mama membanting rapor Salva diatas meja.

"Mama nggak mau tahu ya, pokonya semester depan kamu harus peringat 1. Titik!" titah Mama tegas. "Kerjanya cuma belajar aja nggak becus. Apalagi kalau kerja nanti!"

Salva mengangguk patuh. Meremas kedua tangannya dengan kuat. Semesta, untuk sekarang rasanya Salva ingin menghilang. Ini benar-benar sakit.

Salva mendongak kala Mama Papanya mulai beranjak. "Mama sama Papa mau kemana, kan belum selesai sarapannya?" tanyanya.

"Tanpa Mama jelasin harusnya kamu udah tahu, Salva!"

"Ma ... Pa ... nggak mau ngucapin sesuatu buat aku?" Ragu-ragu, Salva bertanya.

PANDORA [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang