26. Kendali Semesta

3 1 0
                                    

Bab 26. Kendali Semesta

Semesta, kau renggut segalanya dariku. Setelah ini kau juga renggut kedua orang tuaku?

•Salva Sekar Saputri•
.
.
.

Sebelum matahari benar-benar tenggelam dan menyisakan bercak cahaya kemerahan di ujung barat, Salva pastikan dia sudah sampai rumah.

Pikirannya yang sudah dipenuhi materi pelajaran dari sekolah dan juga dari privat hari ini membuatnya ingin mengerang lalu melepaskan diri di lautan sunyi untuk kembali merakit tenaganya yang terkuras habis.

Sepanjang jalan, matanya tidak lepas memandangi matahari di bagian barat yang siap terjun ke peraduannya, menciptakan bias merah dan orange di sekitaran langit yang tengah cerah hari ini. Mungkin menyenangkan bisa mengamati langit berubah warna seperti itu.

Salva baru turun dari sepeda saat adzan magrib berkumandang. Ternyata dugaannya meleset karena dia sampai saat matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Dia terlena akan keindahan senja sesaat lalu hingga lupa waktu.

Matanya mengernyit kala melihat sebuah mobil asing terparkir di garasinya. Apa Mama membeli mobil lagi?

Belum sampai penasaran itu terjawab, penasaran lain justru menghampiri kala pintu rumahnya dibuka perempuan paruh baya yang baru Salva lihat kali ini.

"Siapa?" tanya Salva bingung.

Perempuan itu menunduk sopan. "Saya Nana, pembantu di rumah ini, Mbak."
Untuk sekian detik Salva mencermati apa yang dia dengar. Kenapa Mama baru mencari ART sekarang?

Di ruang tamu Mama sedang berbincang dengan seorang laki-laki yang Salva tidak pernah tahu. Matanya sempat bertemu dengan Mama, tapi hanya seperkian detik. Dari secuil obrolan yang Salva dengar, dia menebak orang itu adalah pengacara yang akan mengurus perceraian Mama Papanya.

Dadanya seketika sesak. Semesta, kau renggut segalanya dariku. Setelah ini kau juga renggut kedua orang tuaku?

****

Salva baru keluar dari kamar setelah satu jam menyendiri disana. Tidak, dia sudah terbiasa menyendiri, dari awal memang dia sudah sendiri. Setelah memastikan tidak terdengar lagi suara obrolan di ruang tamu, dia memberikan turun ke dapur mencari makanan yang bisa dia makan.

"Mbak Salva, mau saya hangatin lagi makanannya?"

Salva menoleh pada artnya, lalu menggeleng. "Nggak perlu. Mama kemana?"

"Tadi pamit keluar, Mbak. Bareng sama tamu tadi."

Salva menggigit roti tawarnya lalu beranjak dari meja makan. "Saya mau pergi sebentar, Bi."

"Kemana, Mbak? Ibu tadi pesen sama saya, Mbak nggak boleh keluar," kata perempuan itu sambil mengikuti langkah Salva yang sudah sampai pintu utama.

Salva berbalik. "Nggak usah bilang Mama kalau gitu. Sebentar doang."

"Tapi, Mbak. Mbak mau kemana?"

Tidak menjawab, Salva menjalankan motornya dan berlalu pergi, menembus udara malam yang justru lebih baik ketimbang udara di rumah tadi.

****

Salva keluar dari supermarket dengan menenteng sekeresek makanan, kakinya beralih ke kursi yang ada didepan kaca bening raksasa itu dan duduk disana, mengambil satu roti lalu melahabnya.

Hari yang semakin larut, suara bising kendaraan, dan bau polusi yang dihasilkannya. Membuat kepalanya berputar akan kenangan yang pernah dia taruh dalam hati. Dulu, waktu dia masih berpacaran dengan Angga, laki-laki itu yang sering mengantarnya saat pulang malam dari les. Sebelum pulang dia menyempatkan mampir ke supermarket seperti ini sekedar membeli minum atau keripik lalu mengajaknya duduk didepan sambil mengobrol ngalor-ngidul mengamati lalu lintas. Lalu jika sedang hujan malam, kesempatan mereka untuk mengobrol bertambah sembari menunggui hujan reda.

PANDORA [ Selesai ]Where stories live. Discover now