14. Semesta Berpaling

5 3 0
                                    


Semestaku benar-benar menghilang
.
.
.

Matahari sudah tidak malu lagi menampakkan dirinya dari tepian bukit, menyemburkan cahaya keemasan yang siap menerangi semesta sampai pada bulan mengganti tugasnya. Karena Salva tinggal di perkotaan maka yang dia lihat matahari yang menyembul dari balik gedung-gedung menjulang yang memantulkan cahaya lewat kaca-kaca raksasa.

Dari balkon tempat Salva berdiri, memperlihatkan pemandangan hilir mudik jalanan di pagi hari yang masih belum terlalu penuh. Tapi Salva bisa memastikan lima belas menit yang akan datang jalanan akan berubah menjadi semut bergerombol yang sangat panjang. 

"Siapa disana?"

Interupsi itu berhasil mematahkan atensi Salva pada hal yang sedari tadi dia pandang. Dia menoleh.

"Mbak nggak baca tulisan didepan, ya?"

Seorang perawat perempuan menanyai Salva dengan nada ketus. Salva berbalik badan lalu mengangguk pelan.

"Maaf, Sus. Saya cuma mau lihat-lihat pemandangan," jelasnya.

Perawat perempuan tersebut lalu melenggang pergi tanpa sepatah kata.

Mata Salva berkedip. Dia tidak bohong soal keinginannya melihat pemandangan dari balkon rumah sakit ini. Dia juga tahu tulisan yang menempel di pintu jika hanya petugas saja yang dibolehkan kesini. Tapi Salva tidak menggubrisnya, yang dia inginkan hanyalah pergi ke balkon lalu melihat pemandangan jalanan dari atas sana.

Salva menghela napas, memilih pergi dari sana dan memaksa hatinya puas menikmati pemandangan sebelum waktunya.

Di lantai tempat kakinya berpijak, Salva melihat ruangan yang dia yakini adalah milik Dokter Arhan. Salva melihatnya sendiri kemarin saat dokter tersebut berjalan kesana.

Beberapa hari berada disini membuat beban pikirannya bertambah, salah satunya adalah kenapa tidak ada satu orang pun yang mengatakan dia sakit apa? Padahal Salva sudah memohon untuk diberi tahu, tapi tidak ada yang mengaku. Salva semakin yakin jika ada sesuatu yang disembunyikan darinya.

Sejujurnya ada sedikit keraguan yang menjalar ke pikiran Salva. Apakah nanti dia siap setelah dokter mengatakan penyakitnya? Apakah dia bisa tetap baik-baik saja? Sedangkan masih banyak hal yang harus dia dapatkan dari kehidupannya. Tapi hati kecilnya sangat ingin mengetahuinya meskipun pahit.

Tangan kanannya hampir memutar handle pintu jika seseorang tidak keluar dari sana terlebih dahulu.

Jantung gadis berusia tujuh belas tahun itu berdetak kencang, seketika tubuhnya kaku. Matanya melebar seiring pergerakan dua manusia yang ada dihadapannya. Meskipun sakit, Salva masih bisa melihat dengan jelas siapa orang yang ada dihadapannya.

"A-Angga?" gugunya.

"Lhoh, Kak Salva disini?" Suara gadis berusia empat belas tahun itu memutus kontak mata Salva dengan mantannya yang sesaat bertemu.

Aura buru-buru mendekati Salva dan memeriksa keadaannya. "Kak Salva sakit apa? Kakak baik-baik aja, kan?"

Salva mengangguk tanpa suara. Jika tidak ada Aura disini, sudah pasti dia akan berbalik lalu pergi.

"Gimana kondisi lo, Va?" Suara berat Angga berhasil menarik atensi Salva.

"Seperti yang lo lihat," balas Salva setenang mungkin.

Disisi lain, mata Angga menangkap tangan Salva meremas tongkat infusnya dengan gelisah. Dia berdeham untuk menetralkan suasana.

"Kalau gitu gue sama Aura pamit dulu," putus Angga.

PANDORA [ Selesai ]Where stories live. Discover now