12. Aku Kalah, Semesta

8 5 23
                                    

Aku Kalah, Semesta

Semesta, kamu berputar terlalu cepat

Salva Sekar Saputri
.
.
.

Usai mengerjakan latihan soal fisika dan matematika yang masing-masing berjumlah lima puluh soal, Salva membaringkan tubuhnya ke kasur berwana putih dan biru muda yang sudah hampir satu minggu ini dia tiduri. Membiarkan buku tebalnya menindih perutnya yang rata. Matanya menatap lurus sembari meresapi aroma obat yang menyeruak indera penciumannya.

Lama tidak berkutat dengan soal-soal itu cukup membuat kepalanya terasa pusing.

Salva masih berada di rumah sakit karena kondisinya yang belum memungkinkan untuk pulang. Sampai saat ini dia belum tahu penyakit apa yang membuatnya sampai disini, dia tidak memiliki keberanian lebih untuk menanyakannya pada dokter. Vanessa maupun Mama juga tidak mengatakan apapun.

Sebenarnya Salva sudah tidak lagi merasakan sakit di tubuhnya, harusnya dia bisa pulang. Tapi dokter melarang karena dia masih sering mimisan.

Perlahan mata Salva memejam. Sebuah memori abu-abu merayap di pikirannya bercampur dengan segala hal yang menjadi ketakutannya. Sudah satu minggu lebih sejak hari libur sekolah ditambah lima hari berada di rumah sakit, yang artinya hanya butuh menghitung hari lagi ajaran baru akan dimulai sedangkan dia masih berada disini.

Segerumbul benang hitam menambah ketidakyakinannya semakin menguat.
Bisa kah dia merebut kembali peringkatnya yang jatuh, sedangkan hari liburnya dia habiskan di rumah sakit?

Lucu sekali keadaan rumit ini, Salva harus bersaing dengan mantan pacarnya untuk mendapat rangking. Perasaan yang tidak normal baginya karena harus menjadikan Angga sebagai saingan setelah hubungan yang pernah terjalin, hubungan kekasih layaknya dua manusia tengah kasmaran yang kini harus bertolak belakang.

Butuh waktu untuk membiasakannya, dan Salva masih kesulitan akan hal itu.
Ingatannya tiba-tiba kembali pada perkataan Vanessa kala itu.

"Salah sendiri pacaran sama anak ambis. Kalau putus saingan loz mantan lo sendiri!"

Salva tidak bisa berbuat lebih. Perasaan seseorang tidak bisa dipaksa.
Memangnya salah jika dia menyukai Angga? Dia tidak tahu jika pada akhirnya akan menitipkan hati pada laki-laki itu. Semua mengalir begitu saja dan Salva mengikutinya.

"Permisi!"

Salva sontak membuka mata dan menoleh pada seseorang di ambang pintu.

"Periksa dulu ya, Mbak Salva."

Salva mengangguk dan segera bangkit dari baringnya, menyingkirkan buku-buku ke atas nakas.

Seorang dokter laki-laki yang biasa memeriksanya, tersenyum. "Mbak Salva ini rajin sekali, sakit saja masih sempatin belajar," pujinya.

Salva menarik bibirnya tipis. Hatinya tiba-tiba merasa getir. Ini semua dia lakukan karena tengah mengusahakan sesuatu.

Dokter tersebut memeriksa Salva sembari menanyakan keadaan dan mengobrol hal-hal random untuk mengusir ketidaknyamanan gadis itu. Mulai dari menanyakan pelajaran apa yang disukai dan tidak disukai, sampai bercerita tentang masa masih sekolah dulu.

Salva menyimak runtutan cerita Dokter ini, sesekali dia tertawa.

"Boleh, kok, Mbak Salva kalau mau jalan-jalan keluar. Dari sini Mbak Salva belok kiri terus lurus saja. Disebelah mushola ada taman yang luas," beritahu Dokter tersebut.

Salva mengulas senyum. "Terima kasih."

"Sama-sama. Mbak Salva jangan terlalu banyak pikiran dulu ya, yang terpenting sekarang keadaan Mbak sehat dulu."

PANDORA [ Selesai ]Where stories live. Discover now