8. Hari Libur yang Kelabu

9 5 8
                                    


Hari masih sama dengan sebelumnya, langit dan matahari membentang biru. Bedanya milikku justru kelabu
.
.
.

Seharusnya Salva tidak membalas tatapan dari sang mantan di penghujung senja tadi. Setidaknya agar dia tidak begitu terlihat masih menyimpan rasa pada laki-laki tersebut. Dan dia bisa fokus pada tujuannya saat ini. Tapi yang Salva lakukan malah sebaliknya, dan justru membuatnya terus memikirkan segala hal tentang Angga.

Salva merutuki diri, dia menyesal. Sepanjang perjalanan umpatan-umpatan lirih terus meluncur dari bibirnya yang membiru. Air turun dengan deras mengguyur kota metropolitan, serta membasahi bajunya sampai ke dalam. Salva menggigil.

Setelah motornya berhasil sampai di garasi, dia segera  memarkirkannya.

"Aish pasti basah nih buku gue," gumamnya seorang diri. Salva mengeluarkan buku-bukunya yang sudah lunak dari ransel. Hujan belum juga reda.

Salva lantas berjalan ke arah pintu, dia ingin segara menghangatkan tubuhnya.

Di ruang tamu, Salva disambut oleh suara lengkingan Mama yang begitu memekan.

"Berengsek kamu, Pa! Berani-beraninya main api di belakang aku!"

"Semua ini salah aku? Dari awal kamu yang terlalu mentingin diri kamu sendiri!"

"Bullshit! Nggak usah membela diri, semuanya udah jelas!"

Papa tidak menggubris, dia berjalan ke arah tangga. Tapi Mama menahannya.

"Mau kemana kamu? Masalah ini belum selesai. Kamu harus berhenti berhubungan sama dia kalau masih sayang sama aku!" Teriakan Mama menggelegar ke seluruh ruangan.

Papa menghempas kasar tangan Mama. "Bukan urusan kamu! Urus urusan kamu sendiri!" Setelahnya Papa benar-benar meninggalkan Mama dengan amarah yang masih membara.

"Aarrgghh berengsek kamu, Pa!" teriak Mama sekali lagi. Lalu tatapannya beralih pada Salva yang masih mematung didepan pintu menyaksikan semua kegiatan yang berhasil membuat kepalanya berdenyut.

Mama justru menatapnya tajam, detik kemudian berjalan dengan dada yang menahan emosi, meninggalkan anak gadisnya yang basah kuyup.

Salva menghela napas berat. Semesta, rupanya hujan saja tidak cukup membuat tubuh Salva menggigil. Hujan lain justru menyerang ulu hatinya dan menjadikannya berkali-kali lebih menggigil.

Apa ini semesta?

****

Jika harus memilih menjadi salah satu benda yang ada di alam semesta ini, maka dengan lantang Salva mengatakan langit. Dia ingin menjadi langit.

Alasannya cukup sederhana. Karena sejauh Salva mengamati, hanya langit lah yang selalu membersamai makhluk yang ada didalamnya. Meski kerap kali langit menjadi luapan umpatan dan cacian manusia karena menurunkan badai yang tiba-tiba atau justru tidak sesuai dengan keinginan manusia.

Namun bukan kah itu sudah menjadi tugas langit? Apa lagi yang harus langit lakukan untuk menyenangkan setiap mata manusia? Dia hanya menjalankan tugasnya dari Tuhan hingga waktu yang telah ditentukan.

Langit memberikan air. Karena langit, retina manusia mampu mengenali benda yang ada disekitarnya, kadangkala langit juga memberikan pemandangan luar biasa yang dia hasilkan dari perpaduan awan dan matahari sehingga para manusia dengan bebas menikmatinya.

Langit juga menjadi saksi seluruh perangai manusia tanpa mau ikut campur menghakiminya. Karena langit itu netral.

Itulah yang Salva inginkan. Dia ingin menjadi netral, tanpa ada kecenderungan yang begitu mengobsesi dirinya. Salva ingin menjalankan kehidupan dengan semestinya lalu bergerak sesuai tugasnya.

PANDORA [ Selesai ]Where stories live. Discover now