3. Langkah Kecewa

10 6 13
                                    


Semesta, tolong pastikan dia baik-baik saja. Aku akan pergi karena permintaannya

~Salva Sekar Saputri~
.
.
.

"Tidak ada pilihan lagi selain memanggil orang tua kamu ke sekolah. Kamu sudah berkali-kali membuat kegaduhan, dan hukuman saja tidak cukup membuat kamu jera."

Pak Harif selaku kepala sekolah menatap tegas cowok berseragam putih abu-abu didepannya yang awut-awutan. Rambutnya berwarna coklat dibagian dalam dan wajahnya yang penuh dengan lebam. Namun agaknya peringatan tersebut tidak menyurutkan emosi yang ada didalam dirinya.

"Keputusan ada di tangan orang tua kamu nanti, sekolah tidak akan menahan kamu lagi!" imbuh Pak Harif.

Sedangkan Salva berusaha menahan seluruh rasa malu atas Adiknya dihadapan sang kepala sekolah.

Setelah beberapa saat setelah perkelahian tadi, Shena digiring ke ruang BK dan diadili dengan tegas. Salva mengikuti kemana Adiknya berada. Di ruangan tersebut Salva hanya diam kala kepala sekolah membeberkan semua perbuatan Shena yang sudah hampir tidak bisa ditoleransi lagi.

Shena menjadi salah satu murid paling pentolan dan banyak melanggar peraturan di sekolah. Salva sudah tahu itu sejak awal. Rasanya kepala Salva ingin pecah.

"Kembali ke kelas dan ikuti pelajaran dengan baik!" titah Pak Harif sembari beranjak dari kursinya.

Banyak pasang mata menyambut Salva dan Shena sekeluarnya dari ruang BK. Mereka menyorot dengan berbagai arti dibaliknya.

"Ngapain lo lihatin gue?" Shena menoleh pada Salva.

"Sehari aja nggak bikin masalah bisa? Gimana reaksi Mama Papa kalau tahu lo kaya gini?"

"Ngurus pacar aja sampe nangis tengah malem, sok mau nasehatin gue. Cuih!" Shena tersenyum miring, mengabaikan rasa perih di sudut bibirnya. Cowok itu berlalu dari hadapan Salva.

"Emangnya kalau Angga sampe kenapa-kenapa, lo mau tanggung jawab?"

Langkah Shena terhenti saat mendapat sahutan menohok dari Salva. Dia menoleh dan menatap Salva tajam. "Kenapa gue? Kan, lo pacarnya. Lo lhah yang harusnya ngurus dia. Eh ... udah putus, ya. Pantesan nangis tengah malem, ternyata udah mantan." Shena melanjutkan langkahnya, dia tertawa puas.

Salva menyorot punggung Shena yang kian menjauh dengan tatapan dingin, menahan segala emosi yang meletup-letup didalam dadanya. Dari mana laki-laki itu tahu dia sudah putus dari Angga?

Setelah merasa lebih tenang, dia memilih pergi ke UKS untuk melihat kondisi Angga.

Salva sudah berniat untuk tidak lagi berhubungan dengan Angga demi kelangsungan hatinya di kemudian hari. Namun setelah kejadian tadi, mustahil baginya hanya diam seolah tidak ada apa-apa. Kali ini Salva harus mengesampingkan segala egonya untuk menemui cowok tersebut dan memastikan keadaannya.

Sampai di depan pintu UKS, langkah Salva berhenti. Dia bergegas mengatur jantungnya yang berdebar tidak karuan. Ingatannya kembali pada suatu hari saat Angga menyatakan perasaannya dulu, rasanya sama mendebarkannya seperti saat ini.

Ah semesta, kenapa Salva jadi mengingat masa itu? Semua hal indah di masa lampau sudah berakhir sekarang. Salva tidak lagi harus meneruskan kenangan itu. Semuanya sudah harus dia selesaikan sekarang.

Menegapkan tubuh, kaki jenjang Salva berjalan masuk dengan perasaan yang dia buat setenang mungkin. Salva berdiri disamping bangkar tidur Angga, melihat cowok tersebut sedang diobati oleh dokter sekolah.

Salva tidak mengerti masalah apa yang terjadi antara Angga dan Shena. Tapi kali ini pukulan Shena terlihat tidak main-main. Sebenarnya ada apa dengan mereka? Sebelumnya dua orang tersebut terlihat tidak ingin terlibat apapun satu sama lain. Tapi setelah kejadian ini, keduanya seperti sudah memendam dendam sejak lama.

Setelah dokter laki-laki tersebut meninggalkan UKS, Salva mendekati Angga.

"Ngga," panggil Salva dengan suara yang hampir hilang. Semesta, rasanya Salva ingin menghilang saja. Waktu dimana Angga memintanya putus kemarin, dia yang meninggalkan laki-laki itu terlebih dahulu. Tapi hari ini justru dia sendiri yang datang menghampirinya.

Angga menoleh sebentar, lalu kembali merebahkan tubuhnya sembari mengompres lebam di wajahnya dengan air es.

"Ngapain kesini? Sana balik ke kelas, nanti ketinggalan pelajaran," kata cowok itu.

Untuk sesaat, Salva merasa tidak diharapkan oleh cowok tersebut. Kehadirannya terasa tidak diinginkan. Namun Salva harus merendahkan egonya kali ini, bukan kah hubungan mereka sudah berakhir? Jadi dia tidak boleh berharap terlalu lebih bahkan berharap Angga ingin menahannya lebih lama.

"Aku mau lihat kondisi kamu." Salva duduk di tepian bangkar berhadapan dengan Angga.

Angga menghembuskan napas pelan. "Seperti yang kamu lihat."

Salva mengangguk. Lebam di wajah cowok tersebut cukup banyak dan menimbulkan warna kebiruan yang Salva yakin jika disentuh akan terasa ngilu. Ingin sekali Salva menggantikan tangan Angga mengompres lebam tersebut, tapi dia tahan. Hubungan mereka sudah tidak sama lagi. Mungkin Angga akan merasa tidak nyaman dengan perbuatannya.

"Atas nama Shena, aku minta maaf karena dia udah buat kamu kaya gini." Salva menunduk, tidak berani menatap langsung mata laki-laki didepannya.

Oh semesta, kenapa atmosfer disini berubah panas seperti ini? Sebenarnya apa yang terjadi? Salva menjadi canggung hanya berdua dengan Angga.

"Mending kamu balik ke kelas, sayang, kan kalau ninggalin pelajaran cuma demi aku?"

Kepala Salva mendongak, mencerna kata yang baru laki-laki itu katakan. Itu tadi dia diusir, kan?

"Ada hal yang lebih harus kamu prioritasin dari ini, Va," kata Angga lagi.

"Ngga ...." Suara Salva tercekat, matanya terasa tersengat. Perkataan Angga barusan seperti tengah mencubit-cubit hatinya lalu meremasnya perlahan.

Semesta, apa yang terjadi sebenarnya? Angga dulu begitu menyayanginya. Tapi kini, mereka terasa asing seolah mengabaikan segala kenangan manis yang pernah terjadi.

"Gue baik-baik aja, ini masih bisa gue atasin sendiri. Jadi lo tenang aja." Angga mengangguk meyakinkan.

Gue? Semesta, Salva tidak salah dengar kan, barusan Angga menyebut dirinya dengan sebutan gue?

Salva menoleh ke arah jendela, berusaha menghalau air di pelupuk matanya yang tidak tertahan lagi.

Semesta, ada apa dengan Salva? Kenapa dia jadi lemah seperti ini? Memangnya kenapa kalau Angga menyebut dirinya dengan sebutan gue? Dulu sebelum mereka jadian, laki-laki tersebut juga begitu, kan? Lalu apa masalahnya sekarang? Salva hanya tinggal mengimbangi dan membiasakan saja.
Tapi kenapa dia menjadi terbawa perasaan seperti ini?

"Oke, kalau itu mau lo, gue bakal balik ke kelas. Tapi lo harus janji bakal baik-baik aja," putus Salva akhirnya.

Angga mengangguk. "Siap. Sorry ya, gue nggak bermaksud ngusir lo. Cuman lo juga harus prioritasin prestasi lo."

"Iya." Entah dengan maksud apa yang barusan Angga katakan, tapi Salva merasa itu adalah sebuah sindiran untuknya. Sebuah sindiran halus penyebab cowok tersebut meminta putus.

Salva menghela napas lalu bangkit dari duduknya. "Gue duluan kalau gitu ya, Ngga. Sekali lagi gue minta maaf atas nama Shena. Gue duluan."

"Hemm." Angga berdeham.

Kaki Salva berjalan meninggalkan UKS dengan perasaan kecewa. Kecewa karena Angga memintanya pergi. Padahal jauh di dasar hati, dia ingin sekali mendengar suara laki-laki itu menahan langkahnya lalu menyambutnya dengan senyum yang mampu membuat seluruh hatinya menghangat.

.
.
.

1057 kata, done 🙌

3 Maret 2023

PANDORA [ Selesai ]Where stories live. Discover now