15. Tidak Boleh Berharap

4 2 0
                                    

Sepertinya hari ini semesta lupa jika ia mengekangku mengharapkannya
.
.
.

"Gue tadi ketemu sama Angga."

Pernyataan itu berhasil membuyarkan lamunan gadis yang sedari tadi duduk di sofa sambil melamun.

"Ngapain ketemu Angga? Dia ngomong apa aja ke lo?"

"Nggak ada. Gue nggak sengaja juga ketemu. Terus gue langsung balik ke kamar."

Vanessa merubah posisi menjadi menghadap Salva. "Modus paling."

Salva menggeleng sambil terkekeh pelan. "Nggak mungkin," cicitnya.

Angga benar-benar tidak mau melihatnya lagi. Secepat itu Angga berpaling setelah apa yang mereka lalui. Jadi tidak mungkin cowok itu modus. Dulu waktu mereka masih pendekatan pun, Angga langsung mendekatinya terang-terangan.

"Kamu kok gitu, sih, Pa!"

Dua gadis tersebut menoleh saat Prisca masuk dengan wajah marah.

"Anak kamu itu di rumah sakit, lhoh. Kamu lebih mentingin kerjaan daripada anak kamu?!" Prisca membanting tas tentengnya di sofa sebelah Vanessa duduk.

"Alasan. Bilang aja kamu lagi sama selingkuhan kamu itu, iya, kan?!"

Baik Salva ataupun Vanessa sama-sama terkejut. Apalagi Salva yang harus menahan sesak dan malu didepan Vanessa. Apa Mamanya tidak bisa melihat ada orang lain disini?

Prisca tidak peduli dengan orang yang ada disini, dia sudah naik pitam. Dibantingnypa hape tersebut ke lantai hingga menjadi puing-puing kecil.

"Aakkhh berengsek kamu Pa!!"

Salva dan Vanessa sontak menutup telinga.

"Aarrgghh kamu jahat!!"

Prisca semakin histeris, suaranya semakin parau bercampur amarah yang sedang membuncah di dadanya.
Salva menyaksikan Mamanya dengan sendu, hari ini terjadi lagi. Papa Mama kembali berseteru dan dengan masalah yang sama. Meski Salva belum mendapat jawaban atas pertanyaannya penyebab orang tuanya bertengkar, dia bisa menebak garis besar adalah adanya orang ketiga.

"Mama ...." Salva memanggil Mamanya lirih.

Prisca berjalan ke arah sofa lalu duduk disana. Dia menyugar rambutnya kasar lalu menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangan.

Tidak ada yang berani buka suara di ruangan itu. Salva dan Vanessa saling tatap, Vanessa merasa bersalah karena ikut menyaksikan kejadian itu. Tapi dia juga enggan untuk pergi. Dia ikut merasakan kesesakan yang dirasakan Mama sahabatnya, pasti sakit sekali.

Vanessa berjalan ke arah Salva memastikan keadaannya. Setelah cukup lama diam dengan kemelut yang ada di kepala masing-masing, Salva mencoba membuka suara.

"Mama ...." panggilnya.

Prisca sontak mendongak dengan menghela napas jengah. "Nggak usah ganggu Mama dulu, Mama lagi capek!"

"Mama udah makan?"

"Nggak usah peduliin Mama udah makan apa belum, pikir diri kamu sendiri biar cepet keluar dari sini. Mama capek!"

Tepat setelah itu Prisca bangkit memungut hape yang berceceran itu lalu melenggang pergi.

Lagi-lagi, Salva ditinggal. Tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Salva sebenarnya lelah, banyak sekali hal yang ingin dia katakan dan lakukan, tapi setelah berhadapan langsung dengan Mama keberaniannya sekejap menciut. Salva membenci itu. Kenapa dia tidak bisa, Semesta?

Salva menoleh ke arah Vanessa yang berdiri di samping bangkarnya. "Sorry, ya, Nes."

Vanessa mengangguk pelan, mengerti maksud sahabatnya.

PANDORA [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang