32. Melangitkan Harapan

4 2 0
                                    

Bab 32. Melangitkan Harapan

Semesta, tolong bantu aku rayu Tuhan agar keadaan ini tidak menimbulkan sakit yang berarti

Salva Sekar Saputri
.
.
.

Entah apa alasannya, Salva merasa asing dengan sikap Shena yang akhir -akhir ini sedikit berubah terhadapnya.

Adiknya itu menjadi sering mengajaknya bicara meski dengan kata-kata yang menusuk yang pada akhirnya mengantar mereka pada pertengkaran. Mengganggu saat dia asyik membaca novel atau membaca buku. Bahkan sengaja menyalakan musik dengan keras. Yang jelas laki-laki itu suka membuat masalah dengannya.

Salva yang tidak terbiasa dengan sikap Shena itu, merasa tidak nyaman. Dia terbiasa sendiri dan fokus, kini harus banyak menghela napas menghadapi Shena.

"Lo mending pergi, Shen!" sentak Salva untuk yang kesekian kali. Melayangkan tatapan kesal dengan hati yang mendidih.

Kali ini dia mengunci pintu lalu turun tangga dengan langkah cepat. Menghiraukan Shena yang membututinya.

"Gue anter!"

"Nggak!" Salva berhenti di bawah tangga, membuat Shena ikut berhenti.

"Lo tinggal sebut alamatnya doang apa susahnya, sih? Lo tinggal duduk, udah, sampai."

"Sejak kapan lo ikut campur urusan gue? Urusin hidup lo sendiri. Gue bisa berangkat sendiri."

Shena berdecak sebentar sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang. "Keras kepala banget, sih, lo."

Tanpa mengindahkan Adiknya, Salva berlalu pergi. Mengambil motor di garasi dan bersiap pergi. Hari Minggu ini dia ada jadwal les ke Haikal. Supaya pulangnya dia bisa menikmati senja seperti yang sudah dia lakukan beberapa kali ini, dia akan berangkat siang. Supaya dia pulang nanti bisa langsung menyaksikannya.

Salva menuntun motor maticnya sampai depan gerbang. Tapi dia merasa motornya berat. Setelah dia lihat ternyata bannya kempes.

"Yah kempes. Gimana, nih?"
Monolognya.

Shena yang masih memerhatikan gadis itu dengan tangan menyilang, tersenyum puas. "Yakin nggak mau terima tawaran gue?"

Salva menoleh memicingkan matanya penuh curiga. "Lo yang rencanain ini, kan?"

"Enak aja. Mana tahu gue, ban lo kempes."

Salva berdecak, lalu membawa kembali motornya ke garasi. Kini giliran Shena yang mengeluarkan motor sportnya.

"Udah, ayo naik!" titahnya pada Salva.
Salva akhirnya menyerah, menerima helm dari Shena lalu memakainya. Tangannya sengaja bersembunyi dibalik lengan hoodie untuk menghindar dari sengatan matahari.

Terakhir dibonceng laki-laki seperti ini sekitar lima bulan lalu, saat hubungannya dengan Angga masih baik-baik saja. Saat itu Angga memaksanya ikut padahal suasana hatinya tidak sedang mendukung, dia diajak berkeliling kota menikmati suasana sore, memilih topik yang sebenarnya sepele untuk dibahas sebagai teman bercerita selama menikmati jalan, menguarkan rasa semerbak dari dua hati yang saling terikat dengan garis yang sama, hingga ke Kota Tua sebagai tujuan terakhir sebelum kembali pada suasana yang membekuk diri.

Saat itu, Salva serasa disirami air yang sangat sejuk di tanahnya kering, memberi energi untuk bunganya kembali mekar. Saat itu, Salva merasa paling beruntung karena bertemu dengan Angga.

Ah tidak, semesta. Salva tidak boleh memikirkan laki-laki itu, mereka bukan siapa-siapa lagi.

"Lo berantem sama Vanessa?"

PANDORA [ Selesai ]Where stories live. Discover now