16. Tengelam di Ingatanmu

5 2 0
                                    

Bab 16. Tenggelam di Ingatanmu

Semesta sengaja membiarkanku tenggelam
.
.
.

Tampaknya matahari acuh dengan Salva hingga tidak mau melepaskan sinarnya dari belenggu semesta, membiarkan rinai di mata gadis itu semakin deras dan basah yang tak berkesudahan. Lalu membuat lautan dari kepedihan yang pada akhirnya membuat Salva tenggelam seorang diri.

Andai matahari mau sedikit saja membagi sinar dan bekerja sama dengan semesta, mungkin Salva akan berusaha membuka jalan untuk keluar dari samudera yang membuatnya tenggelam.

 
Dulu, ketika semesta menolaknya, Salva tidak putus asa karena matahari berhasil membuatnya tidak merasa sendirian. Namun, itu dulu. Kini kenangan manis itu harus dia buang paksa dari angannya. Angga sudah bukan lagi miliknya. Mataharinya sudah hilang.

Disaat seperti ini, Salva justru teringat dengan Angga. Dimana laki-laki itu merengkuh bahunya yang rapuh dan gemetar dengan sayapnya yang indah, yang perlahan membawanya keluar dari lautan dan mengenainya denga sinar matahari agar dia tidak kedinginan. Salva merindukan itu. Dia merindukan Angga.

Namun, kali ini dia benar-benar tenggelam. Seorang diri.

Semesta. Salva putus asa. Dia ingin mengakhiri semuanya. Tapi tujuannya bahkan belum usai.

Salva meremas kertas yang ada di tangannya, lalu melemparnya ke sembarang arah tanpa berharap akan menyesalinya. Tuhan, rasanya sangat menyesakkan. Tidak ada bahu disini yang bisa dia gunakan untuk bersandar. Walaupun kenyataannya dia sudah terbiasa menangis tanpa bahu, tapi kali ini Salva benar-benar kesepian.

Salva berhenti menangis kala sebuah tangan mengulurinya sapu tangan berwarna abu. Dia mendongak menatap laki-laki berwajah pucat itu.

"Saya nggak tahu sakitnya seberapa. Tapi saya harap sapu tangan ini membantu, Mbak," ucap laki-laki tersebut saat sapu tangannya tak kunjung terbalas.

Salva justru membuang muka. "Nggak perlu. Lo bisa ambil lagi." Dia tidak ingin bertemu siapa pun saat matanya tengah meleleh seperti ini, dia berharap penolakannya akan membuat laki-laki itu pergi. Namun laki-laki itu malah duduk di bangku samping kirinya yang kosong. Salva menghela napas.

"Saya minta maaf soal infus Mbak yang saya tarik kemarin. Saya bener-bener nggak sengaja. Soalnya harus buru-buru ke kamar lagi sebelum ada orang tahu saya keluar tanpa izin-"

"Lo nggak perlu jelasin karena gue juga nggak peduli," potong Salva membuat laki-laki itu langsung diam.

"Maaf," lirihnya.

Salva begitu ingin merutuki semesta saat ini juga. Mengapa semesta mengirim angin disaat jiwanya masih basah karena tenggelam? Ingin berusaha mengeringkan air yang ada di matanya? Itu sama saja membuatnya mati kedinginan.

"Mbak mau?" Laki-laki itu kembali bersuara.

Salva hanya melirik cokelat yang disodorkan oleh laki-laki di sampingnya.

Tidak mendapat balasan, dia menarik lagi tangannya. "Menurut studi cokelat mengandung theobramine dan phenylethylamine. Dua zat itu mempunyai peran penting dalam mengatur perasaan senang pada seseorang. Perasaan senang ditimbulkan karena serotonin yang meningkat dalam otak kita yang biasanya disebut sebagai hormon kebahagiaan," jelasnya tanpa diminta. Lalu melanjutkan. "Makanya kebanyakan orang yang perasaannya lagi kurang bagus, mereka lebih milih makan cokelat."

"Gue nggak terlalu suka cokelat," aku Salva dingin. Selain rasanya terlalu manis, cokelat tidak memberinya efek yang berarti seperti yang dikatakan laki-laki ini.

"Nggak heran, memang di dunia ini ada juga orang yang nggak suka sama cokelat. Oke saya tandain, Mbaknya nggak suka sama cokelat."

Salva membuang muka sembari terkekeh remeh. Lalu pandangannya kembali lurus.

"Kalau boleh tahu, Mbak sakit apa? Sudah berapa lama?"

Tidak ada sahutan dari Salva. Laki-laki itu mengangguk paham.

"Manusia itu memang nggak selalu ada di fase maksimal dalam hidupnya, kadang-kadang juga di fase minimal. Dan itu normal, kan?" Laki-laki itu bicara seolah gadis di depannya memperhatikan. "Tentu normal, lah!" imbuhnya, yang sebenarnya adalah sebuah sindiran untuk dirinya sendiri.

"Kalau fase itu datang ke saya, saya lebih milih motoran keluar rumah, keliling kota sendirian walaupun nggak tahu tujuannya kemana. Yang penting keluar aja, ujung-ujungnya ke pantai lihat ombak sama angin sampai puas. Habis itu balik ke rumah."

"Habis itu balik ke rumah terus ngulangi kejadian minimal itu, sama aja nggak ada bedanya. Sama-sama nggak guna!" sahut Salva dengan nada emosi.

Laki-laki itu memiringkan kepalanya, tiba-tiba tertarik dengan ucapan gadis ini. "Tergantung rumahnya nggak, sih, Mbak?"

"Lo beruntung kalau rumah lo nggak hancur, lo selamat." Salva menahan napas, mencoba meredakan apa yang menghantam di dalam dadanya.

"Sebenarnya definisi rumah itu apa, sih?"

"Rumah itu saat lo berada disana, lo ngerasa aman dan ngerasa bener-bener pulang," cicit Salva dengan tertahan. Mengesampingkan air matanya yang sudah melesak ingin keluar.

Laki-laki itu menjentikkan jari, tubuhnya sudah sepenuhnya menoleh ke arah Salva. "Berarti konteksnya disini bukan rumahnya, tapi orangnya. Dimana pun rumah kita, kalau kita sama orang yang tepat, kita sudah bisa disebut pulang."

"Dan orang itu yang gue nggak punya. Berarti gue masih belum pulang?" Pertahanan Salva akhirnya pecah, dia tidak bisa lagi menyembunyikan air mata yang terus melesak ingin keluar.

Salva sudah tidak lagi memiliki rumah. Orang yang hampir dia sebut rumah ternyata hanya tempat singgah. Orang itu memilih mundur dari hidupnya saat dia mulai merasa aman dan nyaman. Angga bukan lagi miliknya.

Laki-laki itu tertegun, lalu menyerahkan sapu tangan  yang masih dipegangnya pada Salva yang terus menunduk sambil menangis. Dia tidak bermaksud membuat hari gadis ini menjadi kacau.

"Kayanya sebentar lagi mau hujan, Mbak lebih baik balik ke kamar," kata Laki-laki itu sembari mendongak ke arah langit. "Maaf ya, Mbak, saya nggak bermaksud buat hari Mbak ini tambah berat. Maaf," imbuhnya menyesal.

Salva menghela napas, menyusut air matanya yang terus meleleh. Dia bukan menangisi hari ini yang berat, hari-harinya memang sudah berat. Namun dia merutuki semesta yang sudah merebut rumahnya, merebut orang yang dia anggap sebagai rumah. Dia terlihat menyedihkan bukan?

Perlahan Salva berdiri lalu melenggang pergi tanpa pamit bersama air mata yang dia paksa berhenti. Langkahnya memelan ketika di depan ruang inap miliknya, Vanessa datang dengan langkah tergesa. Gadis ini sungguh datang kemari untuk menjemputnya.

"Lo kemana aja, sih? Lo bikin gue gila tahu nggak. Di kamar nggak ada, di telepon gak diangkat. Gue pikir lo nekat pulang sendirian," cemasnya dengan sorot khawatir.

Salva menggeleng lemah. "Sorry."

"Habis dari mana, sih?"

Salva menatap Vanessa. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya jika dia habis menangis. "Gue ambil resep," katanya kemudian sambil menunjukkan kertas yang dia bawa.

Vanessa langsung mengambilnya. "Sini biar gue aja yang tebus. Lo ambil barang lo terus tunggu di mobil," titahnya.

Salva lantas kembali ke ruangannya mengambil barang-barang yang tadi dia kemasi. Sebelum pergi dia mengedarkan pandangannya terlebih dahulu. Setelah beberapa hari menghabiskan waktu liburannya di tempat ini, akhirnya dia bisa keluar juga. Dia tidak berjanji bisa melupakan semua kejadian yang dia lihat di tempat ini. Karena di tempat ini dia mengetahui sesuatu yang lain.

Setelah beberapa lama, Salva akhirnya meninggalkan ruangan itu.

.

.

.

1088 kata, done 🙌

17 Maret 2023

PANDORA [ Selesai ]Where stories live. Discover now