30. Semesta, Aku Menyerah

1 3 0
                                    

Bab 30. Semesta, Aku Menyerah

Semesta, aku mengaku, aku kalah. Mulai hari ini, aku biarkan hidupku mengalir seperti air

Salva Sekar Saputri
.
.
.

Setengah mati, Salva harus menahan dadanya yang bergemuruh hebat seorang diri, menahan akalnya yang hampir hilang agar tetep berpikir jernih untuk menerima kenyataan yang baru dia lihat dengan kepalanya sendiri.
Dia sudah berusaha menjadi apa yang mereka inginkan, mati-matian mengejar ekspektasi yang tidak pernah menunjukkan kata selesai.

Meninggalkan ego dan hatinya untuk sebuah pengakuan yang tak kunjung dia dapatkan.

Semesta, sepertinya Salva memang harus berhenti, sebelum jantung dan denyut nadinya juga ikut pergi.

Segala kepercayaan yang dia bangun kokoh dan tinggi, menjulang siap menembus langit yang abadi, hari ini runtuh, lebur, dan hancur menyisakan puing-puing yang tidak akan bisa utuh kembali.

Bak kotak Pandora yang sengaja dibuka, menyisakan kesesakkan yang sampai selamanya akan terus disesali. Yang pada akhirnya memberi ketidakberdayaan yang mustahil hilang sendiri.

Sepanjang kakinya menapaki aspal jalan, mata Salva hanya berfokus pada satu titik, yaitu kekecewaan yang memenuhi lubuk hati.

Kenapa semesta, kau renggut semua yang Salva miliki tanpa peduli? Memangnya setelah ini siapa yang peduli dengannya lagi?

"Mbak Salva!"

Salva berhenti, menoleh kala seseorang dibelakang memanggil. Sayup-sayup matanya yang buram karena air mata menangkap seseorang. Orang itu mengikis jarak hingga sampai hadapannya.

"Kak Haikal," lirih Salva dengan suara yang hampir tak terdengar.

"Mbak habis dari mana? Mbak, ada apa?" Haikal mencoba memahami apa yang dia lihat.

Salva menggeleng, detik kemudian tangisnya runtuh bersamaan dadanya yang kembali bergemuruh.

Haikal semakin bingung, ditambah posisinya sekarang yang mungkin membuat orang lain salah paham. Akhirnya dia menarik Salva dan membawanya ke rumah.

Niatnya tadi, dia hanya ingin memastikan jika gadis yang lewat depan rumahnya adalah Salva, ternyata benar. Tapi kondisi gadis itu membuatnya terus bertanya apa yang sudah terjadi.

Haikal membawa Salva ke taman belakang, tempat yang biasa mereka gunakan belajar. Baru kemarin Salva tidak datang, justru hari ini datang dengan kondisi yang berantakan.
Salva masih terus tergugu, tanpa peduli laki-laki didepannya akan melihat bagaimana dia ketika berantakan. Dia tidak lagi peduli.

"Mas Haikal, dipanggil Ibu."

Haikal menoleh pada asistennya, lalu mengangguk. "Tolong buatin makan buat Mbaknya, ya, Mbok?"

"Iya, Mas."

Setelah itu, Haikal meninggalkan Salva. Dia akan membiarkan gadis itu tenang dulu baru kemudian menanyakan apa yang terjadi.

"Kamu dari mana? Sudah waktunya minum obat, lhoh."

Haikal buru-buru meminum obat yang sudah disiapkan sang Mama. Lalu duduk berhadapan dengan Mama di meja makan.

"Kamu bawa anak itu lagi?"

Tatapan Haikal berhenti di mata Mamanya. Dia menelan pil yang terakhir sebelum menjawab
pertanyaan. "Salva, Ma, namanya. Aku nggak sengaja lihat di depan tadi."

"Terus kenapa dibawa kesini?"

"Dibawa, kan, bukan barang, Ma. Salva bukan barang." Dia merasa sejak awal kedatangan Salva, Mamanya sudah menunjukkan ketidaksukaannya.

PANDORA [ Selesai ]Where stories live. Discover now