11. Bukan Aku Orangnya

5 4 0
                                    


Jika boleh meminta aku ingin separuh semesta bekerja atas kendaliku, agar aku bisa menyesuaikan kadar lara yang masuk perasa ini tidak terlampau jauh

•Salva Sekar Saputri •
.
.
.

Selama dua hari berada di ruangan putih ini, Salva tidak menemukan keberadaan AC. Hanya sebuah kipas angin berwarna biru muda yang menempel di tembok sebelah kanan atas tepat disamping kepala, itu pun tidak pernah dia nyalakan untuk sekedar mengganti udara.

Namun hawa dingin semakin merasuk ke tubuh bahkan menembus hatinya sejak keberadaan laki-laki yang sudah setengah jam lalu tidak membuka mulutnya. Perasaan Salva semakin kacau kala netra itu menangkap dan memenjarakannya dengan tatapan yang dia tidak mengerti maksudnya.

Salva membenci saat-saat seperti ini, dia sudah ingin keluar dan menyudahi keheningan yang membuatnya beku hanya karena keberadaan Angga. Tapi dia tidak bisa berkutik.

Sedangkan dari celah jendela terlihat pasang sorot Shena yang tengah memperhatikannya bersama Angga dengan penuh intimidasi.

"Lo ganggu gue istirahat." Akhirnya Salva membuka suara, yang lebih tepatnya adalah sebuah sindiran untuk laki-laki yang telah berstatus sebagai mantan tersebut.

"Hmm habis ini gue bakalan pergi," balas Angga. Dia berganti menyandarkan tubuhnya.

Angga mengacak rambutnya. Entah mengapa dia menjadi bisu saat melihat Salva seperti ini. Wajah putihnya terlihat semakin pucat dan lingkaran matanya yang semakin jelas, padahal beberapa hari kemarin dia masih melihat gadis tersebut baik-baik saja.

Ini sama saja mengingatkan Angga pada kenangan ketika mereka masih berpacaran dulu. Jika Salva jarang menemuinya karena alasan sibuk, maka Angga yang akan datang ke kelas gadis tersebut dan memaksanya bercerita tentang apa yang tengah terjadi. Lalu setelahnya Salva akan menangis dihadapan Angga. Dan Angga bisa melihat bagaimana hancurnya gadis tersebut.

"Lo sendiri yang minta gue buat bersikap sewajarnya, karena kita udah mantan. Tapi apa yang lo lakuin ini udah nggak wajar, Ngga." Salva memberanikan menatap Angga.

"Gue denger lo masuk rumah sakit. Gue cuma mau mastiin keadaan lo," balas Angga.

"Tapi gue takut kalau gue jatuh lagi sama lo, Ngga," aku Salva dengan sorot sendunya.

Memang seperti itulah yang Salva rasakan, sekaligus takutkan. Dia merasakan desiran aneh setiap kali memandang Angga, dia juga merasa takut jika perasaannya ini malah membawanya jatuh untuk kedua kalinya pada orang yang sama. Yang jelas-jelas itu sudah tidak bisa dia rasakan lagi.

Cowok itu sendiri yang memintanya menjauh.

Angga tidak menjawab, dia membuang muka supaya netranya tidak terhubung lagi dengan milik Salva.

"Ah kenapa gue ngomong kaya gini, sih? Sorry, Ngga," pinta Salva dengan terkekeh. Dia menoleh ke arah nakas untuk mengambil minum, lalu menenggaknya.

"Nggak apa-apa," balas Angga.
Salva melirik jam dinding berwarna kuning motif bunga matahari yang ada disana, menunjukkan pukul 14.15, lalu menoleh ke arah Angga.

"Udah mau sore, Ngga. Gue juga mau istirahat, sebentar lagi dokter kesini. Mending lo balik," saran Salva pada Angga.

"Gue diusir?"

Salva terdiam sesaat, kembali mencoba menyelami pikiran mantannya tersebut. Bukannya lo yang usir gue duluan dari hidup lo? batin Salva.

Kepala Salva mengangguk pelan.

Angga menghela napas, lalu mengangguk sekali. Perlahan cowok tersebut berdiri dari duduknya.

"Okeh. Gue pamit. Lo harus cepet sembuh."

PANDORA [ Selesai ]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora