33. Menertawai Semesta

2 2 0
                                    

Bab 33. Menertawai Semesta

Aku tidak tahu apakah aku harus menertawakan semesta, atau justru aku yang di tertawakan olehnya

Salva Sekar Saputri
.
.
.


Matahari sudah bersiap meluncur meninggalkan cakrawala, setelah beberapa saat menyebarkan partikel yang beterbaran di langit dengan cahaya jingga. Lalu berganti gelap dengan rona kuning keemasan mengomposisi bumi.

Namun, tidak ada pergerakan yang berarti bagi Salva meninggalkan seseorang yang terus menggerayangi pikirannya, menyita hampir seluruh semestanya.

Semesta telah mengunci Salva pada mata teduh yang menenangkan. Mata teduh yang mampu memberinya banyak arti lewat tatapan. Mencegah kakinya untuk bertahan dari rayuan hiruk dunia yang abstrak.

Salva bahkan lupa niatnya untuk mengintesitasi senja. Fokusnya teralih pada seseorang bermata teduh yang kini tengah terbaring tak berdaya di bangkar rumah sakit. Kantung matanya menghitam, ruang dan memar dibeberapa titik tangan dan kakinya.

Tapi begitu, lengkungan di bibirnya masih bisa terangkat.

"Kamu nggak pulang? Sudah hampir malem, lhoh."

Salva menggeleng lemah, memastikan tiap lengkungan di wajah laki-laki itu tulus.

"Kenapa lo nggak bilang kalau sakit? Biar gue absen dulu, lo istirahat," lirih Salva.

"Les itu juga istirahat buat saya. Karena saya bisa lupa sama sakitnya."

Salva menahan napas yang terasa berat. Semesta, kau ciptakan Haikal dari apa? Tidak sepertinya yang dipenuhi pikiran negatif, laki-laki itu justru mampu menetralisirnya.

"Mulai sekarang gue berhenti les," putus Salva akhirnya.

Ada guratan kecewa yang terpancar di wajah pucat Haikal. "Padahal saya masih sanggup buat les."

"Jangan buat gue jadi orang jahat, Kak, dengan ngebiarin lo kerja pas lagi sakit."

"Itu kemauan saya sendiri."

"Mulai sekarang gue berhenti," tegas Salva sekali lagi.

"Yaah ... saya jadi nggak ada temennya lagi, dong," Haikal memasang wajah kecewa supaya gadis itu menarik ucapannya.

"Lo bisa pergi kemana pun yang lo mau. Dengan begitu lo bisa dapet banyak temen."

"Dengan kondisi yang kaya gini?"

Salva seketika bungkam, netranya bertemu dengan milik Haikal. Diam-diam dia merutuki diri, apa yang dia katakan tadi?

"Oke, gue akan tetap ke rumah lo. Tapi bukan buat les."

Haikal mengangguk perlahan. "Terus les kamu gimana?"

"Gue udah nggak ngurusin soal itu, gue nggak mau ngekang diri sendiri lagi." Sudah Salva putuskan, dia akan berhenti memaksa diri, berusaha membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan yang membuat hatinya lumpuh.

Salva terkejut kala sebuah tangan mendarat di kepalanya, memberi usapan lembut yang begitu sejuk.
"Bagus. Ini baru Mbak Salva. Saya bangga," kata Haikal.

Salva tertegun sesaat, netranya tertuju pada Haikal hingga usapannya terasa sampai ke hati. Memberinya kehangatan dan kepedulian yang selama ini dia butuhkan.

"Mbak Salva tetap harus melanjutkan masa depan. Kalau nanti Mbak ketemu saya lagi, saya pengen Mbak sudah menentukan mau lanjut kemana. Oke?"

Perlahan Salva mengangguk. Haikal menarik tangannya dari kepala Salva. Detik kemudian orang tua Haikal masuk, cepat-cepat Salva berdiri dan mundur.

PANDORA [ Selesai ]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt