31. Maksud Semesta

1 2 0
                                    

Bab 31. Maksud Semesta

Hal paling menyakitkan dari menunggu kepastian adalah berusaha menyibak semesta, dan memahami apa maksudnya
.
.
.


Sejak masuk gerbang sekolah, Salva memutuskan langsung ke perpustakaan untuk mengembalikan buku, dia ingin disana untuk beberapa waktu sambil menikmati aroma buku-buku yang menguar ke penjuru ruangan.
Bibliosmia, panggilan untuk orang yang menyukai aroma khas dari buku.

Namun sejak turun dari mobil depan gerbang tadi, dia harus lari kecil guna menyingkat waktu supaya titik-titik hujan yang menimpanya tidak membuat basah.

Semesta sudah mengirim air sepagi ini, mengguyur bumi dengan kedinginan yang kian menusuk diri.

"Aish, basah baju gue." Salva merutuki diri begitu berhasil menyentuh lantai koridor, harusnya tadi menurut saat Mama menyuruh memakai payung, tapi justru memilih menembus hujan.

Mungkin karena sedang hujan, suasana tidak seramai biasanya. Syukurlah Salva sudah berada di tempat yang aman ketika hujan turun kian deras.
Sambil berjalan ke arah perpustakaan, dia mengurai rambutnya yang basah dan menyisir dengan tangan.

Pagi ini, entah kenapa Mama menawarkan diri untuk mengantarnya ke sekolah. Salva yang terbiasa sendiri sedikit merasa aneh, namun begitu dia tidak mengelak jika hatinya menjadi hangat.

Salva menoleh ke belakang saat merasakan sesuatu membalut punggungnya. Ternyata Angga sedang memakaikan jaket padanya.

"Pakai ini biar lo nggak kedinginan," kata laki-laki itu.

Salva terperangah sesaat. Langkahnya memelan hingga Angga berhasil menyamainya. Dia menyentuh jaket Varsity hitam putih yang berada di punggungnya.

"Jangan dilepas, lo kedinginan nanti," kata Angga begitu mengetahui Salva akan menanggalkannya.

Salva mengerjap. Sebenarnya apa maksud mantannya ini? Pikirannya kacau, laki-laki itu yang meminta untuk bersikap wajar setelah mereka putus, lalu sikapnya seperti ini harus disebut apa?

"Kenapa nggak pakai payung?"

"Gue kira nggak bakal deres," aku Salva.

"Lo mau kemana? Kelas lo udah lewat," peringat Angga.

"Gue mau ke perpus."

Angga manggut-manggut. Salva terus melajukan  kakinya.

"Soal permintaan gue waktu itu gimana?"

Salva menoleh. "Permintaan apa?"

"Main ke rumah gue. Sumpah, Mama gue yang nyuruh, Va."

Salva tidak tahu harus berbuat apa, dia bahkan lupa permintaan Angga waktu itu. Permintaan itu terlalu takut untuk dia turuti.

"Tapi kalau lo nggak bisa, yaudah. Gue nggak maksa lo lagi." Angga mengulum bibir lalu menghela napas pasrah.

Meski tidak melihat langsung, Salva yakin Angga pasti merasa kecewa.

"Mata lo sembab, lo habis nangis?"

Pertanyaan itu kembali menyedot perhatian Salva. Dia meraba wajahnya, tadi pagi dia sudah memastikannya baik-baik saja.

"Gue tahu meskipun lo diem. Lo lupa, gue pernah jadi orang yang ada disamping lo setiap lo nangis?"

Salva tidak tahu harus menjawab apa, rasanya dia seperti terlempar pada masa itu, dimana dia menangis di pundak Angga setiap kali merasa berantakan.

"Berhenti ngikutin gue, Ngga. Gue risih!" sentak Salva akhirnya. Dia berhenti dan menoleh ke arah Angga. "Stop sok tahu tentang hidup gue, oke? Biarin gue sendiri."

PANDORA [ Selesai ]Where stories live. Discover now