9. Atensi

9 5 3
                                    


Aku mampu merebut semesta agar dia menoleh ke arahku. Tapi untuk Mamaku, aku terus meragu

•Salva Sekar Saputri•
.
.
.

Prisca berjalan dengan langkah lebar menyusuri lorong rumah sakit, matanya menatap lurus dengan satu tangan menenteng tas. Mulutnya sesekali berdecak dengan raut wajah khawatir yang sangat kentara.

Dari kejauhan, dia melihat seorang gadis yang sangat dia kenal, lantas dia langsung mengarahkan kakinya kesana.

"Gimana keadaan Salva? Dia nggak apa-apa, kan?" tanyanya pada gadis didepannya sembari mengintip dari celah pintu ruang IGD yang tengah tertutup.

Vanessa yang semula bersedekap dada langsung menurunkan tangannya. Dia awasi seluruh gerik yang dilakukan Mama sahabatnya ini.

Prisca kembali bertanya pada Vanessa. "Salva gimana? Kenapa bisa sampai pingsan?"

"Saya juga belum tahu, Tante," balas Vanessa jujur. Dia juga menunggu dokter keluar dari ruangan dimana Salva berada.

Salva tidak sadarkan diri saat mereka akan berangkat les. Gadis itu tiba-tiba jatuh begitu aja dengan darah yang mengalir dari hidungnya. Dengan bantuan tetangga, Vanessa membawanya ke rumah sakit. Dan hingga saat ini belum ada informasi lagi tentang keadaan gadis itu.

Vanessa sudah menduga hal ini akan terjadi, melihat bagaimana sahabatnya itu mengusahakan apa yang diinginkannya dengan segala cara tanpa memikirkan dirinya sendiri, meski pada akhirnya gadis itu tidak pernah ada peluang dilihat sekali pun.

Prisca berdecak. Lalu memilih duduk di kursi tunggu sembari mengotak-atik hapenya. Sedangkan Vanessa masih tetap berdiri disebelah pintu IGD.

"Ada-ada aja ini Salva. Saya lagi kerja tadi terus dapet telepon dari kamu kalau Salva pingsan. Mana masuk IGD, malah repot nanti urusannya," dumel Prisca.

Vanessa menatap perempuan itu tidak percaya. Putrinya sedang berjuang untuk hidup tapi Mamanya malah menyalahkan apa yang terjadi pada anaknya. Ingin sekali Vanessa berteriak memaki perempuan ini, dimana rasa kasihnya sebagai ibu?

Vanessa heran dengan Salva. Bagaimana gadis itu bisa sangat obsesi untuk mendapatkan perhatian Mamanya yang jelas-jelas tidak akan memberikannya? Tidak sadar kah gadis itu jika semua yang dia lakukan sia-sia?

Seorang dokter keluar dari ruangan IGD. Vanessa cepat-cepat bangkit.

"Gimana keadaan dia, Dok?" Prisca sudah lebih dulu bertanya.

Dokter itu mengangguk. "Ibu orang tuanya? Mari bicara sebentar," ajak Dokter laki-laki tersebut.

Prisca lantas mengikuti sang Dokter. Sedangkan Vanessa mendesak masuk ke IGD tanpa aba-aba. Dia ingin mengetahui keadaan Salva.

"Salva?" panggil Vanessa pada gadis yang sedang berbaring dengan infus yang sudah menancap di tangan kanannya.

Sorot sayu milik Salva menatap ke arah Vanessa. Bibirnya yang pucat berusaha untuk menarik senyum. Tangan kiri Salva terangkat, Vanessa segera mendekat dan menggenggamnya.

"Kata dokter, gue kenapa?" tanya Salva lemah. Seingatnya dia masih di rumah, tapi setelah bangun ada disini. Salva yakin gadis didepannya ini yang membawanya ke tempat ini.

"Gue juga belum tahu. Mama lo lagi ngomong sama dokter."

"Mama kesini?" Mendengar Mamanya kesini, Salva langsung berusaha untuk bangun dari tidurnya. Vanessa membantunya.

"Mama beneran kesini? Gue mau ketemu sama Mama, Nes."

"Nggak usah!" cegah Vanessa sembari menghentikan pergerakan Salva.

Tiba-tiba Vanessa teringat perkataan Prisca tadi. Dan seketika kepalanya kembali mendidih. "Nggak usah ketemu sama Mama lo!" ulang Vanessa lebih tegas.

Salva menatap sahabatnya bingung. "Kenapa?"

Vanessa menatap Salva dengan penuh. "Emangnya lo mau ngapain kalau ketemu sama Mama lo? Lo itu nggak boleh banyak gerak dulu. Udah deh, Va, nggak usah ngarep. Mama lo nggak sepeduli itu sama lo."

Salva terdiam. Perkataan Vanessa terdengar menyakitkan, tapi memang seperti itu kenyataannya. Mamanya tidak pernah benar-benar melihatnya. Di kondisi seperti ini pun, Salva ingin orang yang menemuinya adalah Mama. Tapi semua itu hanya lah angan yang entah sampai kapan akan menjadi nyata, atau mungkin tidak akan pernah terjadi.

Salva menghela napas pelan sembari menyandarkan punggungnya. "Kira-kira gue sakit apa ya, Nes?" Salva mengulangi pertanyaannya tadi.

Vanessa menggeleng. "Nggak tahu. Tapi nanti gue coba tanya dokternya."

Salva mengamati infus yang menancap di tangannya. Rasanya masih ngilu, tapi pusing di kepalanya sedikit lebih berkurang dari sebelumnya.

Uhhuk

Salva terbatuk, rasanya seperti ada yang tersedak di tenggorokannya. Dia menyentuh benda cair yang terasa mengalir dari hidungnya. Ternyata darah yang keluar dari sana.

"Hidung lo berdarah, Va." Vanessa panik melihat itu. Cepat-cepat gadis tersebut mengeluarkan tisu dari dalam tasnya dan membantu Salva membersihkan hidungnya.

"Kok bisa mimisan, sih? Tadi waktu lo pingsan lo juga mimisan," terang Vanessa.

Salva terkekeh pelan lewat bibirnya yang pucat. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Segala ketakutan yang dia bayangkan satu per satu mulai terjadi. Termasuk tentang kesehatannya yang mulai menunjukkan ketidakberdayaannya.

Ya, mau bagaimana? Katanya tidak akan ada hasil jika tidak didahului dengan usaha. Maka yang Salva lakukan saat ini adalah berusaha supaya dia mendapat apa yang selama ini dia inginkan.

Seseorang masuk ke ruangan Salva berada. Membuat dua gadis didalam sana menoleh.

"Kamu tahu, Mama harus ninggalin kerjaan Mama cuma gara-gara kamu. Mama harus tunda meeting yang harusnya dilakukan hari ini, karena kamu. Padahal ini meeting sangat penting buat kelangsungan perusahaan. Tapi semua harus mundur!" tegas Prisca sembari menunjuk Salva penuh kekesalan.

Salva menangkap bayangannya berada di dalam manik milik Mamanya yang berkilat marah. Bahkan napas memburu dari sang Mama juga bisa dia dengarkan. Dia sudah terbiasa dengan ucapan Mama yang selalu pedas, menuntutnya untuk jadi sempurna tanpa ada bantahan. Dia tidak pernah menolak dan selalu menangkap apa maksudnya. Tapi kali ini semua kepatuhannya yang selalu dia junjung menguap entah kemana berganti dengan perih bercampur tidak berdaya.

"Maaf, Ma," lirih Salva lemah dan sarat akan keputus asaan. Dia tidak berani mendungak menatap balik sang Mama.

Prisca berdecak. "Tetep disini sampai kamu sembuh. Mama nggak mau lagi gara-gara kamu kerjaan Mama jadi tertunda dan berantakan. Ngerti?" katanya. Setelah itu dia pergi meninggalkan putrinya dengan perasaan yang tertahan.

Kepala Salva mengangguk lemah. Banyak hal di kepala yang ingin dia katakan, setumpuk beban di angannya ingin segera dia keluarkan. Tapi sekuat tenaga dia tahan agar tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Salva tidak sanggup lagi, dadanya kembali bergemuruh sampai akhirnya pertahanannya runtuh dan membawanya pada tangis yang menyiratkan kesakitan.

Vanessa mendekat dan memeluk kepala Salva erat. "Bego lo , Va. Kenapa juga lo minta maaf, hah?! Lo nggak salah, Salva!" umpat Vanessa geram.

Salva tidak menjawab. Vanessa benar, dia memang bodoh.

.
.
.

1002 kata, done 🙌

10 Maret 2023

PANDORA [ Selesai ]Where stories live. Discover now