27. Menembus Semesta

5 2 0
                                    

Bab 27. Menembus Semesta

Semesta, tolong katakan siapa sebenarnya dia? Kenapa dia bisa menembus pikirannya yang begitu rumit?

•Salva Sekar Saputri•

.
.
.

Setiap kali menatap langit, mata Salva serasa dibawa menembus semesta dengan jutaan gugusan bintang yang menyembur ke seluruh semesta, membawanya berotasi mengelilingi jagat raya hingga fokusnya hanya tertuju pada alam raya itu. Oleh karena itu dia menyukai langit, karena dengan begitu pikirannya bisa sedikit menjauh dari kenyataan yang memerangkap dirinya.

Ah semesta, kadangkala Salva memakimu karena tujuannya yang tidak kunjung usai dengan titik temu. Kerapkali dia menjadikanmu tersangka kala dunianya sedang tidak bisa diajak bicara. Tapi percaya lah, semesta. Kau masih mendapat tempat di hatinya untuk segala keresahan yang menyerangnya, kau tetap tempatnya pulang saat rumah-rumahnya sudah tidak bisa dimasuki karena hancur.

Dan juga ... karena melihat langit, dia bisa menyembunyikan air matanya agar tidak jatuh, agar tidak ada yang mengira dia sedang tidak baik-baik saja.

"Ada yang perlu dijelasin lagi?" Kepala Haikal meneleng memastikan gadis didepannya dalam kondisi baik. Tapi sepertinya harapannya itu pupus saat Salva semakin terlihat frustasi.

Dari awal gadis ini datang, Haikal bisa menebak ada hal yang telah terjadi.
Tapi obsesinya itu sulit dikendalikan hingga dia tidak bisa mencegahnya untuk berhenti mengerjakan soal-soal privatnya untuk sementara waktu.

Haikal mengambil napas lalu menghembuskannya perlahan. "Nggak apa-apa kalau kamu capek, istirahat dulu. Hidup bukan perlombaan buat cari tahu siapa yang paling sempurna."

"Lo nggak ngerti!"

Haikal terhenyak, matanya diserap kuat oleh Salva yang menatapnya tajam. Sesaat lalu tatapan itu redup dengan embun yang mengelilingi pelupuk dan siap jatuh. Tapi kini sorot itu berubah merah dengan kilatan yang begitu tajam.

"Saya emang nggak ngerti. Tapi saya tahu kalau kamu juga manusia. Waktu dan kemampuan kita terbatas, kita juga nggak bisa mengendalikan kehidupan.

Jadi ... nggak apa-apa kalau kamu istirahat dulu." Senyum Haikal mengembang, mengunci tatapan Salva yang belum mau turun darinya.

Detik kemudian isakan lolos dari mulut Salva, perlahan, hingga isakan itu berubah tangisan yang terdengar putus asa.

Salva menggeleng, menenggelamkan kepalanya di meja, membiarkan air matanya jatuh membasahi buku.
Dadanya begitu sesak dipenuhi luka yang kian menganga. Salva menyerah, dia kalah. Hari ini dia benar-benar sudah pasrah.

Semua angan yang tengah dia usahakan, semakin jauh untuk digapai, lalu membuatnya memutuskan untuk mundur.

Sebuah usapan mendarat lembut di pundaknya, memberinya tanda jika masih ada orang yang memperhatikan.

"Ya ... meskipun kamu berhenti, nggak menutup kemungkinan masih bisa lanjut lagi, kan?"

Kepala Salva mendongak membiarkan Haikal melihatnya hancur.

"Saya memang masih orang baru bagi kamu, tapi saya nggak keberatan, kok, jadi teman cerita kamu. Nggak semua bisa dipendam sendiri."

"Gue udah terbiasa sendiri, jadi hal kaya gini harusnya gue bisa atasin sendiri." Suara Salva terdengar serak, dia perlahan menyusut air matanya yang terus jatuh.

Haikal kembali duduk. Gadis ini egonya begitu tinggi. "Tapi buktinya hari ini kamu nangis. Dengar, ya, Salva, meskipun kamu merasa mampu, nggak apa-apa kalau mau ngerepotin orang lain, hal kaya gitu, itu nggak apa-apa."

PANDORA [ Selesai ]Where stories live. Discover now