13. The Ace

7 3 0
                                    


Aku mengangguk saat semesta menawarkan bahunya untuk kepalaku bersandar

•Salva Sekar Saputri •
.
.
.

Tidak ada satu manusia pun yang tidak memikirkan sesuatu dalam kepalanya, pasti ada hal yang menerobos masuk dan menetap dalam isi kepala lalu memaksa manusia mencerna melalui benaknya. Seperti itulah manusia, karena memang mereka masih hidup.

Salva pikir, isi kepalanya tidak terlalu penuh meskipun kekhawatiran soal rangkingnya berhasil mengambil seluruh atensinya, sebelum kejadian beberapa saat lalu saat Mamanya datang.

Salva pikir semua akan kembali membaik dan berjalan normal dengan sendirinya karena memang semesta akan mengatasinya.

 
Namun dugaan Salva salah. Semesta memang berjalan sebagaimana mestinya, tapi bukan semesta itu sendiri yang menginginkannya, melainkan dari Sang Pemilik Semesta.

Pemilik Semesta lah yang mengaturnya. Tuhan yang mengatur segala hal yang ada di alam semesta ini, di bumi dengan segala hiruk pikuknya, di langit yang terlalu jauh untuk disentuh tangan manusia dan seluruh alam semesta ini. Tuhan lah yang mengatur. Termasuk segala hal yang terjadi pada hidup Salva.

Mulai dari kelahiran Salva, masa kecil beserta seluruh kejadiannya, membekaskan memori berbagai warna yang terus melekat di kepalanya hingga saat ini, memberinya pengaruh terhadap apa yang Salva lakukan dan rasakan di masa dewasa ini. Segala macam rasa dan kesakitan yang gadis tersebut terima.

Salva kadang ingin tahu, sebenarnya apa yang Tuhan rencanakan hingga membuatnya seperti ini? Dia setuju berteman dengan semesta berharap semesta dapat membantunya mengatasi sedikit kekacauannya. Tapi agaknya semesta juga tidak berkutik dengan takdir Tuhan. Semesta tidak bisa membantunya. Dia hanya menjadi teman disetiap suasana yang Salva rasakan.

Untuk kesekian kali, Salva menghapus air matanya. Mengabaikan orang-orang berlalu lalang dengan tatapan kasihannya. Salva tidak peduli, kali ini dia akan menyerah membiarkan semua emosinya keluar lewat tangisnya. Salva tidak lagi peduli dengan semesta yang mungkin tengah menertawainya. Biarkan semesta tahu jika dia sendirian lagi.

Salva berdiri dari kursi duduknya, mengintip sang mama yang masih berada didalam ruang inapnya sendirian. Terlihat Mamanya tertidur di sofa dengan wajah  yang kacau. Mama pasti lelah. Dia memilih mundur dan duduk kembali di kursi tunggu.

Untuk beberapa lama, Salva pikir kembali ke kamar bukan pilihan yang tepat. Jadi dia memutuskan pergi ke taman yang tadi dikatakan Dokter. Dengan pelan dia berjalan sembari membawa tongkat infusnya.

Matahari sore yang sudah akan tenggelam memberi warna jingga kekuningan pada setiap inci taman yang berhasil Salva pandang. Memberi kesan menyejukkan dengan angin yang terus berembus pelan menerba apa saja yang berhasil ia raih.

Salva menghela napas. Mengamati pemandangan taman yang luas dengan berbagai jenis bunga warna-warni. Beberapa orang seperti Salva tampak menikmati suasana taman yang jauh lebih baik ketimbang di dalam ruangan putih. Salva harap dia juga begitu, bisa bis menikmatinya meski tidak ada satu pun hal disana yang benar-benar menarik atensinya.

Salva mendesis kala seseorang menarik selang infusnya hingga terlepas. Tiang infusnya hilang keseimbangan sampai akhirnya jatuh. "Bisa nggak sih, jalannya biasa aja?"

"Maaf, Mbak, saya nggak sengaja," ucap seorang laki-laki pada Salva, lalu menegakkan kembali tiang infus.

Salva mendesis kesal, lalu atensinya tertuju pada bekas infus di tangannya yang mengeluarkan darah. "Awwh," rintih Salva. Dia tidak bohong, rasanya sangat perih.

Laki-laki yang punggung tangannya diinfus sama seperti Salva itu panik. "Aduh, sampai lepas gitu. Saya bener-bener nggak sengaja, Mbak. Halo, apa disini ada perawat? Saya butuh bantuan!" teriaknya pada orang-orang yang ada di taman. Namun tidak satu pun diantara mereka yang mendekat.

Salva mendongak sebentar, dengan cepat menyambar tongkat infusnya untuk dia bawa pergi. namun laki-laki yang tidak diketahui namanya itu mencegahnya.

"Mbak mau kemana? Itu infusnya belum dipasang lagi lhoh."

Salva memutar bola malas. "Gue juga tahu, makanya gue mau cari dokter buat pasang algi."

"Mari saya antar kalau gitu," putus laki-laki itu akhirnya. dia bersiap membawakan infus di tangan Salva.

"Nggak perlu, gue bisa sendiri." Salva merebut kembali infusnya.

"Jangan buat saya merasa bersalah, Mbak, saya juga mau tanggung jawab, gimana pun tangan Mbak kaya gitu karena saya yang nggak sengaja narik," kata laki-laki itu.

"Gue bisa sendiri." Salva berusaha menahan hati. Laki-laki ini sangat banyak bicara.

"Nggak usah merasa sungkan, Mbak berhak minta tanggung jawab."

"Gue bilang, gue bisa sendiri. Mending lo-"

"Salva!"

Teriakan itu membuat Salva menoleh. Mama berjalan kearahnya dengan langkah lebar.

 
"Kamu dari mana aja, sih? Keluar nggak pamit," omelnya. Lalu tatapannya turun ke tangan Salva. "Ini kenapa juga bisa berdarah?"

"Infus aku lepas, Ma," aku Salva.

"Kok bisa?"

Salva melirik ke arah laki-laki yang menabraknya tadi.

"Ck ayo cepet temui Dokter biar dipasang lagi." Mama menarik Salva pergi dari sana. Tangan kanannya menggandeng Salva dan tangan kirinya membawa tiang infus.

****

"Ceroboh banget sih, kamu. Bisa sampai lepas gitu infusnya. Untung darah yang keluar cuma sedikit, kalau banyak gimana?"

Prisca terus saja mengomel meski sudah dua puluh menit mereka kembali ke ruangan. Salva melirih ke arah infus yang sudah terpasang di punggung tangannya.

"Maaf, Ma." Salva tidak berkomentar. Dia tidak apa-apa, hanya punggung tangan bekas infus tadi terasa keram. Lalu dia menoleh ke arah Vanessa yang berdiri disebelah bangkarnya dengan bersedekap dada. Dia harap sahabatnya tersebut mengerti keadaannya dan tidak ikut memarahinya.

Pandangan Salva kembali pada Mamanya. Mesti sudah tidak menangis, mata sembabnya masih jelas kentara. Tapi Salva bersyukur Mamanya tidak sekacau tadi.

"Aku bosen, Ma. Pengen keluar dari sini. Aku cuma duduk di taman tadi," aku Salva kemudian. Dia ingin segera pergi dari tempat menyesakkan ini.

"Tarik ucapan kamu. Kamu nggak lihat kondisi kamu kaya gini?" Prisca memelotot.

"Aku nggak apa-apa, Ma. Aku udah nggak ada keluhan lagi."

Prisca membuang muka.

Memang seperti itu kan kenyataannya? Salva merasa tubuhnya baik-baik saja.

"Memangnya aku sakit apa, Ma, sampai aku belum boleh pulang?" tanya Salva pada Mama. Mama semakin memelototinya.

"Apa aku sakit kanker? Sakit mematikan?"

"Mulut lo dijaga, Va!" hardik Vanessa geram.

Salva berganti menatap sahabatnya. "Gue sakit apa, Nes? Pasti kalian menyembunyikan sesuatu, kan? Iya, Ma?" Salva berganti menatap Mamanya.

Prisca tidak menjawab, dia berbalik mengambil  tasnya yang ada di sofa. "Mama mau kembali ke kantor," ucapnya kemudian berlalu pergi.

Helaan panjang keluar dari mulut Salva. "Jangan sembunyiin sesuatu dari gue, Nes. Sebenarnya gue sakit apa? Gue juga berhak tahu!" kata Salva tegas, menatap penuh penuntutan dari sahabatnya.

Vanessa menurunkan tangannya, lalu mengangkat bahu. "Gue nggak tahu."

.
.
.

1019 kata, done 🙌

14 Maret 2023

PANDORA [ Selesai ]Where stories live. Discover now