20. Semesta yang Sempit

4 3 0
                                    


Semesta membuatku ragu dengan pernyataannya
.
.

Semesta, kali ini aku mohon kau mau bekerja sama agar hatiku tidak terus terbelenggu dalam penjara perasaan yang belum berkesudahan.
.
.

•Salva Sekar Saputri•
.
.
.

Angga merasa kehilangan setelah tidak bersamanya lagi? Rasanya Salva ingin tertawa, menertawakan perkataan konyol itu. Jika laki-laki itu merasa kehilangan, harusnya dia tidak meminta Salva putus dengan alasan yang konyol juga. Putus karena merasa tidak diprioritaskan.

Yang benar saja. Mereka bukan lagi anak-anak yang tengah asyik menikmati cinta monyet. Mereka remaja yang sudah bisa berpikir logis, membedakan mana yang harus diutamakan dan ditinggalkan.

Salva pikir tidak ada kendala diantara dia dan Angga selama menjalin kasih dahulu, mereka sepakat mengejar impian masing-masing lalu bertemu lagi dengan situasi yang lebih cerah dengan langkah yang terus beriringan hingga dewasa. Namun nyatanya, belum sampai setengah perjalanan Angga justru berbelok keyakinan dan memilih mengakhiri semuanya.

Salva akui, melupakan begitu saja segala kenangan yang pernah terjalin dulu bersama Angga tidak lah mudah. Rasanya seperti memaksa semesta menghentikan matahari untuk tidak lagi bersinar. Yang mana matahari itu berhasil merengkuh tubuhnya yang dingin dan menerangi netranya yang sudah hampir tertutup dengan cahaya yang cerah. Sangat sulit sekali.

Salva adalah manusia yang tenggelam dalam samudera lepas karena beratnya asa di kedua bahunya. Lalu Angga adalah matahari yang mengulurkan tangannya dan menarik Salva ke tepian dengan sinarnya yang hangat. Hingga membuat Salva sedikit merasa pantas bertahan di dalam semesta.

Jika saja Angga tidak menyuruhnya untuk pergi saat itu, mungkin Salva akan berlari ke arahnya. Dia akan kembali meraih tangan hangat itu untuk dia genggam. Karena yang sebenarnya Salva tidak cukup kuat mempertahankan pertahanannya jika menyangkut soal Angga.

Tapi kali ini, Salva harus berusaha tidak goyah dengan keyakinannya. Dia harus bertahan terombang-ambing ditengah samudera seorang diri. Dia harus bertahan meski tulangnya akan beku. Karena mataharinya tidak bisa lagi dia rengkuh.

Netra Salva menatap dengan jeli bayangan dirinya di dalam cermin, mengamati benda besi yang perlahan memutus setiap helai suraunya yang hampir sepinggang. Telinganya terasa merinding kala suara guratan gunting yang beradu dengan rambut merasuk ke telinga.

Dia benar-benar menyanggupi permintaan mantanya untuk tidak bersikap berlebihan. Dia akan berusaha melupakan semua kenangan yang sudah pernah mereka lewati. Kali ini dia tidak boleh goyah.

Salva mematut dirinya didalam cermin, mengamati rambutnya yang tinggal sebahu dengan pinggiran berwarna coklat tegas.

Semesta, kali ini Salva mohon kau mau bekerja sama agar hatinya tidak terus terbelenggu dalam penjara perasaan yang belum berkesudahan.

****

Salva memastikan sekali lagi rumah berlantai dua yang ada didepan matanya sesuai dengan alamat yang dikirim Vanessa tadi siang. Setelah menekan bel, tak berapa lama pintu terbuka.

"Iya, cari siapa?"

Perempuan paruh baya ini Salva terbaik adalah asinten rumah tangga di rumah ini. "Perkenalkan saya Salva. Saya sudah ada janji sama orang ini," kata Salva sambil menunjukkan hapenya pada asisten tersebut.

Asisten tersebut mengangguk. "Oh Mas Haikal. Ditunggu sebentar, ya, Mbak. Saya panggilkan dulu."

Salva menunggu di kursi teras. Pandangannya berlarian pada halaman yang terlihat rapi penataannya. Jika dipikir, dia juga memiliki halaman rumah yang luas, hanya saja banyak yang tidak terawat karena semua orang sibuk dengan urusannya.

Salva menoleh saat pintu terbuka dan menampilkan laki-laki dengan wajah yang sedikit familiar. "Lo!" pekiknya.

"Mbak ...."

Laki-laki ini adalah orang yang dia temui di rumah sakit dulu, yang menarik selang infusnya hingga terlepas.

"Oh ternyata Mbak yang mau privat sama saya?" Laki-laki bernama Haikal itu tertawa ringan.

Salva tidak tahu harus mengatakan apa, tubuhnya mematung dengan tatapan yang belum lepas dari laki-laki itu. Oh semesta, tubuhnya mendadak dingin karena orang ini. Kenapa kamu mempertemukannya dengan laki-laki ini lagi?

"Silakan duduk, Mbak," ajak Haikal dengan sopan.

Salva kembali mendudukkan tubuhnya.

"Mbak sendirian kesini?" Haikal membuka kalimat pertamanya.

"Iya."

Haikal sedikit berteriak pada orang yang ada didalam rumahnya. "Mbok, minta tolong bikin minum buat Mbaknya."

"Iya, Mas!" sahut orang yang ada didalam.

Haikal kembali fokus pada Salva. "Gimana keadaan, Mbak Salva? Maaf waktu itu saya belum minta maaf dengan benar."

Salva tidak menjawab.

"Mbak Salva satu kelas juga sama Vanessa?" Haikal bertanya lagi.

Salva juga tidak menjawab. Dia menoleh ke arah Haikal. "Maaf, boleh gue batalin aja privatnya?" Kalau dari awal tahu orang ini yang menjadi guru privatnya, Salva sudah membatalkannya.

Haikal menatap Salva heran. "Kenapa, Mbak? Kita bahkan belum atur jadwal, lhoh."

Salva mendadak gugu. "Gue nggak bisa lanjutin. Sorry," ulangnya. Lantas dia berdiri dan mengangguk ke arah laki-laki itu sebelum langkahnya menjauh.

Haikal ikut berdiri. "Mbak Salva! Ada apa, Mbak? Mbak!"

Panggilan itu tidak Salva gubris, sesekali dia memejamkan mata merutuki kebodohannya. Salva sadar apa yang dia lakukan ini terkesan tidak sopan, tapi semesta memang sempit, dan dia tidak ingin terlibat dengan laki-laki itu.

****

Langkah gontai Salva perlahan menapaki lantai rumahnya yang megah. Membiarkan sepatunya membuat tanda disana dari hasil tanah yang dia injak masih basah. Pikirannya masih berputar tak beraturan seperti benang kusut.

Di ruang tamu, matanya bertemu dengan Shena yang sudah beberapa hari tidak terlihat batang hidungnya sejak hari menjenguknya di rumah sakit dulu.

"Habis dari mana lo?" tanya Shena yang tengah tiduran di sofa. Matanya menyorot Kakaknya naik turun.

"Bukan urusan lo," balas Salva tanpa menghentikan langkahnya.

"Lo budeg apa gimana, sih? Gue nanya sama lo!" ulang Shena dengan sarkas.
Salva menghentikan langkahnya dan menoleh penuh pada laki-laki itu.

"Bukannya lo yang budeg? Gue kan udah jawab, bukan urusan lo." Setelah itu dia kembali berjalan.

Shena bangkit untuk mengejar gadis itu, lalu mencekal tangannya. "Lo depresi, ya, sampe rambut lo, lo potong? Kenapa, Angga nyakitin lo lagi?"

Salva yang mendengar itu langsung melotot dan menghempas tangannya. Dia terkekeh. "Sejak kapan Shena Bayu Prayoga jadi peduli gini sama gue? Biasanya lo juga nggak mau tahu. Jadi, darimana pun gue, lo nggak wajib tahu."

Shena malah terkekeh miring. "Tololnya nggak sembuh-sembuh. Gue nanya karena kasihan sama lo."

Salva mengangguk. "Gue udah tahu. Makanya gue nggak mau lo nanya macem-macem. Ujung-ujungnya lo nggak peduli."

Dari dulu, Salva memang terlihat menyedihkan. Dia mengupayakan apa yang dikata orang tanpa mengasihani kesanggupan dirinya sendiri. Dia terus menuruti perintah orang lain tanpa meminta persetujuan dari dirinya sendiri. Salva memang benar-benar menyedihkan.

Salva berbalik dan berjalan menaiki tangga. Meredam gemuruh di dadanya yang meronta ingin keluar.

Semesta, apa yang harus dia lakukan saat ini?

.
.
.

1028 kata, done 🙌

22 Maret 2023

PANDORA [ Selesai ]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora