18. Gelombang di tengah Samudera

4 3 0
                                    


Bahu itu semakin jauh untukku sentuh
.
.
.

Ternyata kikis hujan tidak menyurutkan rencana Vanessa untuk mencari kado sepupunya. Cuaca yang tidak mendukung justru membuat kobaran semangat gadis itu semakin membara. Alhasil Salva yang sudah basah kuyup harus meminjam pakaian gadis itu.

"Lo juga kenapa nerobos hujan, sih? Kan, bisa tunggu reda dulu," dumel Vanessa sembari membantu Salva memasukkan seragamnya yang basah ke dalam paper bag.

"Gue terpaksa," balas Salva. Kemudian dia berganti menyisir rambutnya. Dia berharap setelah ini tubuhnya baik-baik saja.

"Sorry sebelumnya ya, Va. Ini gue agak maksa lo. Soalnya gue nggak jamin besok-besok lo bakal longgar dari kegiatan les lo itu."

Salva selesai menyisir rambutnya. Lalu kedua gadis itu keluar dari toilet mall dan lanjut mencari kado.

"Gue masih butuh dua les lagi," balas Salva ditengah perjalanannya.

"Nah, kan, apa gue bilang."

"Gue pengen ambil privat buat yang ini. Lo ada rekomendasi nggak, Nes?" tanya Salva.

"Jakarta ini luas, ya. Lo keliling aja, nanti pasti ketemu kok."

Salva berdecak. Tidak bisa kah sahabatnya ini serius? "Gue lagi yang cari?"

Vanessa menoleh. "Emang selama ini lo yang cari les sendiri?"

Salva mengangguk lemah.

Vanessa mengangga tidak percaya. "Gue pikir orang tua lo yang masukin."

 
"Kenapa? Nggak percaya?"

Vanessa menggeleng. "Gila."

"Gue selalu bilang kan, Nes, kalau gue harus jadi yang terbaik. Apapun caranya gue harus bisa. Jadi cari les sendiri kaya gitu sebenarnya gue udah biasa." Salva menghentikan langkahnya sejenak kala merasakan kesesakkan dadanya yang kembali menyeruak.

"Kalau lo udah biasa ngelakuinnya, kenapa yang ini malah nanya gue?" Vanessa semakin ingin tahu. Ternyata masih banyak rahasia Salva yang masih belum dia ketahui.

"Gue capek."

Vanessa menghembuskan napas lega. "Akhirnya. Ini yang pengen gue denger dari lo. Kalau capek istirahat, jangan memaksa diri."

"Nggak bisa. Gue belum dapet apa yang gue mau."

Sesaat lalu, Vanessa merasa terbang ke awan tapi jatuh kembali disadarkan oleh kenyataan.
"Lo bener-bener keras kepala, Va. Lo bener-bener sendirian buat ngelakuin ini."

Salva menatap Vanessa dalam. Ya Tuhan, air matanya siap tumpah saat ini juga. "Sepupu lo cewek atau cowok, Nes?" Dia berusaha mengalihkan perhatian. Dia tidak mau semakin tenggelam dalam perasaan ini.

"Cowok. Kita cari sepatu," balas Vanessa yang mengerti maksud gadis disebelahnya. Mereka berjalan ke arah sports station untuk melihat-lihat sepatu.

"Yang ini bagus mungkin, ya, Va, kalau buat cowok," ucap Vanessa meminta pendapat sahabatnya.

"Sepupu lo sukanya yang kaya gimana?"

"Gue juga nggak paham." Vanessa terlihat bingung.

"Pakai feeling aja, Nes. Yang ini juga bagus," usul Salva.

Vanessa kembali memilih beberapa sepatu dan membandingkannya. Sedangkan Salva juga melihat-lihat sepatu di rak yang berbeda.

Ditengah kegiatannya memilih sepatu, netra Vanessa menangkap sosok Mamanya di sports station yang sama dengannya. Ingin sekali dia memanggil tapi pandangannya berpindah pada laki-laki disebelah sang Mama. Itu laki-laki yang sama saat dia melihatnya di rumah sakit, dan Vanessa juga tahu siapa laki-laki itu.

Vanessa menoleh ke arah Salva yang masih sibuk memilih sepatu. Dengan cepat Vanessa berganti haluan dan menyeret Salva pergi dari sini.

"Kita pergi dari ini, Va!" kata Vanessa dengan nada sedikit tinggi.

"Udah dapet sepatunya?"

"Belum. Kita cari ditempat lain."

Salva heran mendengar suara Vanessa yang terdengar gemetar. "Itu tadi nggak jadi sepatunya?"
Vanessa yang tidak menjawab membuat penasaran Salva semakin tinggi. Dia ingin menoleh ke belakang untuk memastikan apakah terjadi sesuatu, tapi Vanessa justru menahan kepalanya.

****

Memang dari awal kehidupan Salva tidak se-rapi apa yang tampak dari luar. Disana, dia terlihat sempurna dengan apa yang gadis itu lakukan, seolah Tuhan tengah memihaknya melihat perbandingan yang selalu diperolehnya. Dia pintar, dia gadis cerdas, dari keluarga yang kaya, dan juga berparas menawan. Semuanya selalu jatuh pada pesona Salva bak dewi maha keberuntungan. Setiap langkahnya selalu tepat menggambarkan masa depan yang sudah tersusun rapi di depan sana.

Namun jauh di dasar telisik sudut hidupnya, Salva ingin mengakhiri takdir ini. Takdir yang membawanya harus berkali-kali tersungkur dan tenggelam untuk bisa sampai di tepian. Belum lagi jika dilempari dengan batu, maka akan timbul gangguan di permukaan air. Dan Salva harus bisa bertahan. Meski yang sebenarnya dia masih tersesat di daratan yang dikelilingi samudera, seorang diri.

Salva harus berusaha mencapai tepian dan berupaya berbagai mungkin untuk mendapat atensi orang-orang yang ada di sana. Dengan begitu dia tidak akan menyeberangi samudera dan melawan gelombang sendirian karena orang-orang akan mengulurkan tangannya.

Salva menutup buku fisikanya dan menghela napas lelah. Netranya melirik pada dua tumpuk buku tebal yang ada disebelah kirinya, yang harus dia pelajari hari ini juga. Sangat melelahkan.
Salva berdiri dan mengambil salah satu novel di rak bukunya lalu membukanya sambil merebahkan diri di ranjang. Ini adalah novel pemberian Angga waktu lalu, dia belum sempat membaca dan berterima kasih pada laki-laki itu.

Di lantai bawah, Salva bisa mendengar suara sang Mama beradu dengan Shena. Salva tebak pasti karena Shena pulang dengan keadaan mabuk. Hal seperti itu sudah sering terjadi, jadi Salva tidak kaget mendengarnya. Entah dengan cara apa dia menghentikannya.

"Salva, kamu ngapain?"

Suara itu berhasil membuat Salva terkejut dan dengan gerakan cepat dia menyelipkan novel tadi di bawah bantal.

"Aku istirahat sebentar, Ma, habis ngerjain fisika," aku Salva sambil beranjak duduk.

Prisca masuk dan memeriksa meja belajar putrinya. "Kamu harus penuhin janji kamu buat dapet rangking 1 lagi," titahnya dengan sorot tajam.

Salva mengangguk patuh.

"Jangan kaya Shena yang nggak bisa diatur. Mama capek bilangnya," imbuh Prisca setengah mendesah. Setelahnya dia keluar dari kamar Salva.

Salva meringis pelan, merasakan denyutan di dadanya. Oh semesta, ingin sekali dia berteriak jika dia juga lelah. Salva lelah terus mengikuti jalan ini.

Salva beranjak dari kamarnya dan turun ke dapur mengambil air. Saat ini yang dia butuhkan hanya air, karena benda bening itu selalu setia menemaninya menjelajah tumpukan kertas hingga tengah malam disaat semua orang memilih pergi.

Di depan meja makan, dia berpapasan dengan sang Papa yang baru masuk rumah dengan wajah lelahnya.

"Papa," panggil Salva sambil mendekati Papa. "Mau aku bikinin kopi?" tawarnya.

"Nggak perlu, kamu lanjut belajar sana," balas Hendry sambil berlalu pergi.

Bulan sabit di wajah Salva seketika mengendur. Dipandanginya punggung sang Papa yang kian menjauh. Salva sadar hal itu selalu terjadi, seolah punggung sang Papa sudah terlalu jauh untuk dia sentuh.

Salva kembali ke kamarnya, dia mencoba mengabaikan suara Mama yang kali ini beradu dengan Papa. Salva akan berusaha tidak mendengarnya.

.

.

.

1043 kata, done 🙌

19 Maret 2023

PANDORA [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang