34. Semesta Berguncang

3 2 0
                                    

Bab 34. Semesta Berguncang

Semua yang ada di alam semesta ini bukan untuk kita kendalikan. Kita bukan pemegang kendali utama untuk semua yang kita inginkan

Haikal Alraidan Akbar
.
.
.

Ucapan Angga kemarin berhasil membuat fokus Salva yang mulai tertata kembali berantakan. Membuat pikirannya dipenuhi khayalan-khayalan yang selama ini dia harapkan. Dia berharap suatu hari Angga datang dan memintanya kembali seperti dulu. Dan ternyata semesta mengabulkan.

Pikiran Salva sudah berteduh dibawah pohon besar dengan angin yang berembus pelan. Kenapa semesta mengabulkan saat hatinya sudah mulai luruh?

Dia yang minta agar laki-laki itu mencabut ucapannya dulu. Dengan harapan hubungan itu mampu menyeret Salva dari kemelut tekanan yang dia rasakan. Seharusnya dia senang karena hari itu akhirnya tiba, tapi hatinya justru berkedut nyeri.
Salva sangat kecewa, hatinya bergemuruh oleh ombak yang kembali membawanya terombang-ambing ditengah samudera lepas. Kenapa Angga baru datang saat ini? Kalau memang niatnya untuk mengakhiri hubungan, kenapa sekarang memintanya kembali?

Salva menaruh kembali buku fisika yang sesaat lalu hanya dia bolak-balik. Ternyata mencoba fokus saat pikirannya tengah bercabang sama sekali tidak membuahkan hasil.

Akhirnya dia memutuskan keluar perpustakaan, mencari udara lain yang lebih sejuk. Baru kakinya melangkah dari ambang pintu, tangannya ditarik seseorang membuatnya hampir terjungkal.

"Lo apa-apaan, sih, Nes?" sentak Salva ketus.

"Gue harus ngomong sama lo. Lo nggak bakalan dengerin kalau gue nggak maksa lo."

Vanessa membawa Salva ke taman belakang, tempat biasa mereka menghabiskan waktu istirahat pelajaran. Kedua gadis itu duduk berhadapan di sebuah kursi panjang.

"Please, lo dengerin gue. Jangan potong selagi gue ngomong, ngerti?"

Salva menatap Vanessa dengan rahang mengeras. Tidak seperti kemarin yang terlihat pasrah akan keadaan, Vanessa kembali ke sifat aslinya yang keras dan tegas.

"Tanpa lo ngomong juga gue udah tahu."

"Ssst! Diem." Vanessa mengarahkan telunjuknya ke arah Salva.

Dia menghela napas sebentar. "Gue nggak tahan kita terus kaya gini. Lo udah gue anggep kaya saudara gue sendiri. Gue cerita ke lo, gue ngadu ke lo. Gue nggak mau persahabatan kita hancur, Va."

"Bukannya lo yang mulai duluan?" Salva menatap Vanessa miring.

"Gue emang udah tahu lama hubungan Mama sama Om Hendry."

Mata Salva terasa panas. Apa Vanessa mengajaknya kesini untuk menegaskan hal itu? "Terus lo sengaja nggak kasih tahu gue?"

"Iya."

Salva menahan napas sejenak. "Karena lo menyetujui hubungan itu?" Dia terkekeh. "Nes, lo tahu Mama sama Papa belum cerai, kan? Lo juga tahu keadaan gue kaya gimana?"

"Tahu, Va. Makanya gue nggak kasih tahu lo dulu."

"Alasannya? Biar lo bisa porotin Papa dulu?"

"Salva!" Vanessa terlihat murka.
Matanya menyorot tajam. Bagaimana Salva bisa berpikiran seperti itu?

"Kenapa, lo tersinggung?" Salva terkekeh. Atensi anak-anak yang juga berada di taman berpindah padanya.

"Lo udah temenan sama gue berapa lama, sih? Apa gue serendah itu di mata lo?"

"Nggak ada yang nggak mungkin, kan." Salva mengangkat bahu.

Vanessa berusaha meredam amarah yang sudah bermuara di dalam dadanya. "Gue sengaja nggak kasih tahu lo, karena gue nggak mau nambah beban lo. Gue kasihan--"

PANDORA [ Selesai ]Where stories live. Discover now