19. Permaisuri

255 53 5
                                    

Rena

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rena

“Ya Allah, hilangkanlah rasa malas di dalam diri hamba Ya Allah. Hamba udah capek jadi pemalas,” doaku waktu sholat maghrib berjamaah di masjid sama Kak Sera. Itu juga karena Kak Sera tiba-tiba kesambet aja ngajakin aku sholat di masjid. Biasanya yang sholat di masjid cuma Papa.

“Doa jangan keras-keras,” tegur Kak Sera.

“Biar jelas didengar sama Allah, Kak,” kataku.

“Di dalam hati juga Allah udah tau.”

Aku mengerucutkan bibirku kesal. Memang apa salahnya jika aku berdoa terlalu keras? Lagian doaku juga baik.

“Ya Allah-”

“Pelan Rena. Aku juga mau berdoa yang khusyu',” selanya lagi. Aku memelankan suaraku tapi masih bisa aku dengar.

“Ya Allah, buatlah hamba menjadi hamba yang pintar.”

“Di dalam hati Serena.”

“Ih salah mulu deh! Ah udah nggak mood lagi berdoa.”

Kak Sera menarik mukenaku. “Istigfar kamu! Berdoa sama Allah yang bener. Mau dikabulin nggak?”

“Ya Allah maafin Rena.”

“Terserah kamu.”

Selesai berdoa aku noleh ke Kak Sera yang celingukan menghadap ke saf para lelaki. Kayaknya dia lagi cari seseorang. Tapi aku belum tau siapa yang dia cari.

“Nyari siapa sih, Kak? Papa?”

“Nggak nyari siapa-siapa. Udah ayo pulang. Mau pulang nggak kamu?” tanya Kak Sera yang kini melipat sajadah secepat kilat.

Dia jalan duluan keluar masjid dan pakai sandalnya. Lalu aku ikutin dia jalan di belakang sambil lihat suasana malam hari di dekat masjid. Sebuah TK Islam gelap banget karena emang udah malem. Dulu aku ngaji di situ juga sama yang lain. Tapi sekarang karena udah gede ngaji di rumah.

Di jembatan kembar aku berdiri sebentar karena kakiku nginjak sesuatu. Kayaknya aku nginjak paku.

“Kak bentar! Kaki aku sakit!” rintihku yang kini duduk di pinggir pembatas jalan dan lepas sandal aku. Sebuah paku menancap di sandalku sampai tembus. Telapak kakiku berdarah dan rasanya sakit banget. Kak Sera yang tau itu langsung ikut jongkok dan periksa telapak kaki aku yang luka.

“Kok bisa? Kamu jalan nggak lihat-lihat sih. Sebentar, kayaknya aku bawa tisu.”

Kak Sera merogoh tisu di saku celana dan bantu ngelap darah di telapak kakiku. Aku merintih waktu itu kerasa sakit.

“Ada apa?” sebuah suara yang aku kenal banget membuatku dan Kak Sera mendongak. Dia Kak Regal dengan kaos putih dan sarung sambil membawa sajadah habis sholat di masjid. Di sebelah Kak Regal juga ada Revan.

“Eh Kak Regal. Ini loh adek aku ada-ada aja pakai ketusuk paku telapak kakinya,” lapor Kak Sera yang masih pegangin tisu di telapak kakiku.

“Iya nih, Kak. Kaki aku sakit banget. Kayaknya aku nggak bisa jalan ke rumah deh. Harus diseret,” kataku.

Regal & Rena Where stories live. Discover now