Bagian 12: Poor Dewa

6K 422 14
                                    

Sekarang adalah hari ketiga Aren berada di sekolah. Selama dua hari kemarin, dia belum memiliki satu temanpun karena tidak ada yang mendekatinya bahkan mengajaknya mengobrol pun tidak. Padahal saat di smp, dia sangat mudah mendapatkan teman, mereka mudah akrab tanpa harus ada drama kecanggungan seperti sekarang ini.

Saat ini Aren tengah bersama Jion. Mereka menuju tempat di mana terakhir kali ia diseret oleh Ken yang ternyata itu adalah milik Ken, Dion, dan Dewa. Ruangan itu tadinya sebuah kelas di fakultas Ken, namun karena Ken menginginkannya, jadilah tempat itu sebagai tempat berkumpulnya tiga pemuda yang merupakan keturunan konglomerat itu.

Bagaimana bisa mereka berlaku seenaknya? Tentu mereka bisa. Dengan modal nama keluarga, ketiga pemuda itu bisa membeli apapun tanpa harus berdebat.

Aren sendiri sebenarnya tidak ingin berada ditempat itu lagi, tapi karena Ken mengancam akan menyeretnya, jadi lebih baik dia menghampiri kakak tirinya itu saja dari pada diseret seperti kambing. Itu hal yang memalukan.

"Jon, kok gue belum dapat teman ya?" Tanya Aren pada Jon yang berjalan di belakangnya, mengawasi.

"Mungkin mereka malu, tuan muda."

Mendengar jawaban Jion, Aren kembali bertanya, "Malu kenapa?" Ujarnya seketika mengernyit bingung tanda tak mengerti.

Jion hanya diam. Dia tidak tahu harus mengatakannya atau tidak. Sebenarnya, ini adalah ulah Sam. Pria itu tidak mengizinkan siapapun mendekati Aren, alasannya karena tidak ingin putranya bergaul dengan anak-anak nakal. Jion sendiri tidak tahu bagaimana Sam mengatur semua ini. Tapi dia percaya, tuan besarnya itu bisa melakukan apapun untuk kebaikan keluarganya.

"Heh, gue nanya!" Tegur Aren tidak terima Jion yang diam membisu.

"Mungkin mereka berpikir tuan muda tidak ingin berteman." Ujar Jion dengan harapan jawabannya sudah benar.

Ternyata tidak. Aren yang langsung mengubah ekspresinya adalah bukti kalau jawaban Jion salah.

"Mana ada begitu! Kuno banget, kalau gitu berarti gue yang harus ngajak mereka ngobrol duluan." Ujar Aren sembari mendengus sebal.

Saat Jion akan menanggapi, ternyata mereka sudah sampai di depan pintu ruangan pribadi Ken. Jion hanya bisa diam di luar saat Aren sudah masuk ke dalam ruangan itu.

"Dua tembok itu ke mana?" Tanya Aren saat hanya menemukan Dewa yang duduk di sofa.

Dua tembok yang dimaksud adalah Ken dan Dion. Aren memanggil mereka seperti itu karena keduanya sangat minim ekspresi, terlalu kaku dan juga masih kuno. Intinya, Aren hanya ingin bilang Ken dan Dion sangat menyebalkan.

"Tumben nanyain, biasanya kalau ada mereka ngamuk-ngamuk mulu." Sindir Dewa.

"Tsk, berisik! Gue datang ke sini karena si tembok itu ngancem ya! Tapi dianya malah nggak ada di sini. Sia-sia kan!"

"Heh, siapa yang ngajarin ngomong lo-gue begitu?"

Aren membungkam mulutnya. Dia heran padahal sebelumnya Dewa terlihat santai saja namun kenapa pemuda itu jadi mirip dua temboknya? Tidak seru!

"Ngomong begitu cuman boleh ke temen lo doang, ngerti?"

"........"

"Denger nggak, dek?"

"Apaan sih! Kuno tahu nggak?"

Dewa meletakkan ponselnya. Ia mendekati Aren dengan ekspresi yang Aren tidak ketahui apa, tapi cukup menyeramkan.

"Apa yang kuno? Itu bagian dari sopan-santun." Ucap Dewa menegaskan.

Dewa memang orang yang santai, tapi jika masalah tata krama dan sopan santun, Dewa tidak bisa mentolerir hal itu apalagi jika Aren, adiknya sendiri yang melanggar.

Aren hanya memberikan ekspresi malas.

Dewa menghela nafasnya. Dia itu termasuk orang yang sangat sabar, tapi entah kenapa sekarang Aren membuatnya ingin terlihat jahat. Dewa menarik Aren untuk duduk. Dia tidak ingin berdebat dengan anak kecil seperti Aren.

Aren yang tadinya mengira Dewa akan kembali menceramahinya, sedikit terkejut ketika dirinya malah diajak duduk. Bahkan pemuda itu tidak lagi bicara dan hanya memainkan ponselnya.

"Membosankan." Ujar Aren pelan tapi Dewa masih bisa mendengarnya dan dia hanya diam.

Selama beberapa menit keduanya hanya diam tak saling bicara hingga Aren mulai merasa kesal dengan suasana di ruangan itu. Aren menatap Dewa dengan tatapan kesal namun pemuda itu tak bereaksi.

"Kapan si tembok datang?!" Tanya Aren sedikit berteriak yang sukses membuat Dewa menatapnya.

"Bentar lagi."

"Lama! Mending ke kelas!"

Aren berdiri dan buru-buru ingin keluar dari ruangan tapi dengan cepat Dewa menahan tangannya.

"Apa?!" Ketusnya.

Dewa memijat pangkal hidungnya yang mancung. Dia tidak tahu kalau Aren akan seperti ini. Anak itu mudah sekali kesal dan marah mengenai hal-hal kecil, sikap Aren ini adalah hal yang mampu memancing emosi seseorang sepertinya. Tapi dia tidak bisa marah pada anak kecil ini karena dia sudah terlalu sayang. Dewa harus ekstra sabar.

"Sebentar lagi mereka datang. Mau main game dulu nggak?" Tawar Dewa.

Mendengar itu raut wajah Aren yang semula merengut kini berubah senang. Matanya berbinar dan Dewa merasa lega karena Aren yang sudah bisa tenang. Tapi,

"Nggak! Gue mau ke kelas!"

Wtf! Dewa menjatuhkan rahangnya. Ia pikir anak itu akan mampu dibujuk dengan game namun nyatanya tidak. Kesabarannya benar-benar diuji sekarang.

"Yaudah, maunya apa?"

"Budek ya? Gue bilang, gue mau ke kelas! Bukain pintunya!" Sarkas Aren, tangannya menggedor pintu berharap seseorang bisa membukakan nya dari luar.

Dewa tak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia ingin marah tapi Aren sekarang terlalu menggemaskan.

Dewa tak tahan lagi. Mungkin kali ini dia harus mengalah, membiarkan anak itu bebas. Dewa menahan tangan Aren yang terus menggedor pintu dengan satu tangannya, sedangkan tangan yang lain ia gunakan untuk membuka kunci pintu.

"Kali ini abang bebasin. Sana ke kelas sebelum abang berubah pikiran." Ujar Dewa, tangannya mengusak rambut Aren.

Aren menatap Dewa garang, "Pede banget bakal dipanggil abang, dikira gue mau apa punya abang modelan pengamen! Nggak sudi ya!!" Ujar Aren. Sebelum pergi, ia menendang tulang kering Dewa hingga membuat pemuda itu meringis kesakitan.

"Makan tuh!!"

Aren langsung berlari keluar dari ruangan tersebut meninggalkan Dewa yang kesakitan akibat ulahnya.

Ken dan Dion datang tepat setelah Aren melarikan diri. Mereka berdua menatap bingung Dewa yang meringis sembari memegang kakinya sendiri.

"Lo kenapa?" Tanya Dion.

"Aren mana?" Sahut Ken yang bertanya karena tidak melihat keberadaan adiknya.

"Lo berdua kelamaan! Jadi gue kan yang kena imbasnya!"

"Ha?" Sahut Ken dan Dion secara bersamaan dan reaksi itu membuat Dewa ingin sekali membenturkan wajah datar temannya itu ke dinding kampus.

Apa mereka tidak tahu kalau ini semua ulah adik mereka yang nakal!

Dewa menghela nafas sabar. Lihat saja nanti, Aren akan mendapatkan balasan atas semua ulahnya hari ini kepada Dewanga Aryatama, seseorang yang kesabarannya setebal dompetnya.

_____________
Tbc.

Halo...

Gimana chapter kali ini?

Sengaja, buat diawal kasih moment Aren sama bang Dewa dulu, soalnya Ken sama Dion kan es kutub, jadi masih belum bisa cair sekarang wkwk.

Makasii udah selalu support aku!! Love you sekebonnya kerajaan inggris!!

Please enjoy yaa..

See you next part 👋






Story Of Arendra Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang